Selasa, 27 November 2007

Romantika Kehidupan Pernikahan







Ketika belum menikah, rasanya saya seperti orang linglung dan bingung sendiri. Apalagi kalau sedang sendirian di kamar, pikiran mengembara terbang dan menjelajah ke angkasa luar, entah kemana. Begitulah suasana hati orang yang masih bujang. Dan, tak terasa usia saya saat itu sudah di atas kepala 30.

Entahlah, kegundahan demi kegundahan untuk mencari 'sang bidadari', tapi tak kunjung ketemu. Barangkali kalau dihitung-hitung, sudah 15 kali lebih saya diajak orang untuk 'nontoni' perempuan-perempuan di berbagai daerah, dari pelosok desa Tulungagung sampai Jakarta.

Karena kegundahan saya belum ketemu jodoh, saat itu saya sempat menolak tawaran sebagai staf ahli di Konjen atau Kedubes di Arab Saudi. Waktu itu saya masih di Jakarta, aktif di Departemen Opini Publik PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Saya lebih memilih pulang kampung untuk menemukan jodoh saya. Mencari kemana-mana, tapi tak kunjung ketemu jua. Alhamdulillah, lewat mediator Mas Agus dan Om Syifa, akhirnya saya menemukan Shofa, perempuan yang tinggal di Karangagung, Palang, Tuban, Jatim. Dan, dengan Shofa (alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) itulah akhirnya saya menikah pada tanggal 6 Juli 2003. Insyaallah itulah masa 'perkawinan bahagia' saya dengan Shofa.

Sebelum menikah, saya sempatkan menulis surat kepada calon istri saya Shofa, antara lain saya kutipkan puisi WS Rendra:

"Kesadaran adalah matahari,
Kesabaran adalah bumi,
Keberanian menjadi cakrawala,
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."

Ternyata istri saya sangat senang membacanya, sehingga kalau pas lagi 'tong pes' (maksudnya kantong kempes), ia segera mengingatkan saya, "Katanya perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata?"

Ia, rupanya juga sangat suka dengan lagu 'Air Mata' Mas Iwan Fals yang sering saya nyanyikan dengan petikan gitar yang menyayat hati:
"Di sini kita bicara,
dengan hati telanjang,
lepaslah belenggu,
sesungguhnya lepaslah

Sesuatu yang hilang,
telah kita temukan,
walau mimpi ternyata,
kata hati nyatanya....

Reff:
Bagaimana pun aku harus kembali,
walau berat aku rasa kau mengerti,
simpanlah rinduku jadikan telaga,
agar tak usai mimpi panjang ini,
air mata .....nyatanya

Entah berapa lama,
kita mampu bertahan,
bukan soal untuk dibicarakan,
mengalirlah......mengalirlah......mengalirlah......"

Istri saya juga sangat suka dengan lagu-lagu Mas Ebiet G. Ade.

Saat itu, saya seringkali mengendapkan dan merenungkan wejangan Cak Nun (senior saya) tentang perkawinan yang indah. Nabi Musa melambangkan kebenaran, sedang Nabi Isa melambangkan kebaikan. Nah, perpaduan atau 'perkawinan' antara kebenaran dan kebaikan akan menjadikan keindahan yang dibawa oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Kami pun bercita-cita semoga bisa mewujudkan 'perkawinan yang indah' itu; yakni perkawinan yang sakinah mawaddah warrohmah. Amin.

Sejak itulah, saya lebih concern untuk menulis buku; suatu pekerjaan yang mengharuskan banyak membaca buku-buku dan belajar secara terus-menerus. "Long life education" barangkali itulah ungkapan yang tepat untuk saya jalani sampai sekarang.












Menyelami Samudera Shalat Subuh



Shalat Subuh dilihat oleh Malaikat. Lho, apa shalat yang lain tidak dilihat malaikat?


Beberapa peristiwa penting--misalnya beberapa perang yang dilakukan Nabi SAW--semuanya berlangsung pada saat Subuh.


Sungguh, Shalat Subuh menyimpan sejuta misteri yang patut dikuakkan. Bahkan dalam hal ini pun juga bertautan dengan soal rezeki Anda. Gampangannya, jika rezeki Anda seret, introspeksi-lah bagaimana Shalat Subuh Anda?


Simak dan resapilah dalam-dalam buku "Menyelami Samudera Shalat Subuh" Penerbit DIVA PRESS Yogyakarta 2007 ini, apalagi mengungkap banyak hal yang belum diungkap penulis lain.


Alhamdulillah, sebulan setelah terbit (3000 eks), buku ini langsung cetak ulang.

Kepemimpinan dan Perempuan




Jangan sembrono kepada 'kaum hawa' alias perempuan, karena sesungguhnya ia menyimpan sejuta potensi yang luar biasa. Mereka bisa menjadi pemimpin handal. Mau contohnya? Lihatlah kepemimpinan Ratu Balqis (presiden Negeri Saba') yang dinukilkan di dalam al-Qur'an dengan sebutan; "Baldatun thoyyibatun warrabbun ghafur".




Simak pula mengenai "cakrawala kepemimpinan" dalam buku ini.




Kedua buku ini diterbitkan Penerbit Tugu Publisher Yogyakarta, 2007.


Misteri Hidayah


Bicara mengenai hidayah Allah, barangkali gampang-gampang susah. Gampang, karena Allah telah memberikan kitabullah (al-Qur'an) dan mengirimkan utusan-Nya sebagai tauladan; Nabi Muhammad SAW. Tapi, susahnya terlihat nyata; kenapa kebanyakan orang enggan, dan bahkan cenderung menolak terhadap hidayah Allah.


Simak baik-baik buku "Misteri Hidayah" karya Wawan Susetya, wong Tulungagung Jawa Timur yang diterbitkan Penerbit Diva Yogyakarta, 2007.


Selamat membaca, semoga bermanfaat.

Buku-Buku Jawa Bermutu







Sebagai orang Jawa, sudahkah Anda mendalami dan merenungkan makna terdalam dari khasanah nilai-nilai Jawa?

Bagi orang-orang Jawa yang sudah mumpuni budaya Jawa, tentu tak kesulitan untuk memahaminya. Tetapi, meskipun Anda orang Jawa yang kebetulan belum atau tidak memahami makna nilai-nilai adiluhung-nya khasanah Jawa, ada baiknya mulai menyimak buku-buku Jawa karya Wawan Susetya, (Penerbit Narasi Yogyakarta, 2007).

Insyaallah Anda akan menemukan 'jawaban'-nya di sini. Inilah nilai makna kearifan lokal (Jawa) yang mulai dimunculkan lagi di era globlal. Rasanya kita terlalu banyak mengadopsi khasanah budaya Barat, sementara malah meninggalkan budaya sendiri.

Gali dan renungkanlah.....

Tadarus Cinta


Ini bukan sekedar novel, tapi novel yang penuh inspirasi mengenai cita-cita mulia nan luhur. Tujuan orang hidup, bagi muslim, apalagi kalau bukan pengenalan kepada Sang Pencipta (Allah SWT).


Nah, barangkali setelah membaca novel ini, para pembaca akan tergugah kesadarannya untuk makin memperdalam makna hidup, pergulatan hidup, perjalanan spiritual hidup, dan seterusnya.


Sekedar diketahui, setelah sebulan terbit (Penerbit Diva Press Yogyakarta)--cetakan pertama 3000 eks--ternyata novel ini langsung mendapat perhatian publik. Buktinya langsung cetak ulang.


Alhamdulillah.....

Jumat, 28 September 2007

Misteri Energi Cinta (Penerbit Diva Press, 2007)


Anda ingin menggali dan menguak kekuatan 'energi' cinta?
Tentu, ini bukan sekedar cinta horisontal antara Anda dengan kekasih atau pasangan Anda, tetapi yang paling utama adalah menggapai cinta Ilahi.
Barangkali jika kita termasuk hamba-hamba Allah yang bercita-cita mulia ini, ada baiknya membaca dan mendalami isi kandungan buku ini. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mendapat 'cipratan' cinta-Nya. Semoga!

Misteri Energi Cinta (Penerbit Diva Press, 2007)

Jumat, 06 Juli 2007

Mencari Teman


Shalat Tahajud


Kekasih Allah


Surga dan neraka

WACANA mengenai surga-neraka sudah dikenal oleh pemeluk Agama Islam sejak kecil. Bahkan tak jarang, anak kecil yang sok bandel seringkali ditakut-takuti dengan ancaman siksa neraka yang mengerikan; yakni digambarkan dengan api yang membara! Sebaliknya, untuk menggugah semangat anak-anak kecil dalam beribadah, tak ayal surga-lah yang dijadikan sebagai iming-iming alias harapan agar ia mau taat menjalankan perintah-Nya, misalnya mengerjakan shalat.
Meski demikian, hendaknya penyampaian wacana surga-neraka tersebut tidak mandheg atau stagnan (!), tetapi diteruskan, ditingkatkan, dan diarahkan pada penghayatan serta penjiwaan yang lebih mendalam. Apakah itu? Yakni menajamkan analisis dan apresiasi mengenai tauhid; meng-Esa-kan Allah Swt alias menomorsatukan-Nya. Ibaratnya, jangan mentang-mentang memberikan senyuman manis di Bulan Ramadhan itu berpahala, lantas Anda senyum-senyum terus kepada orang! Bagaimana kalau orang lain menganggap Anda telah sinting atau tidak waras?! Semuanya harus tetap proporsional.
Itulah sebabnya, mengerjakan ibadah yang dilandasi karena ingin mengharap pahala atau surga-Nya saja—pinjam istilah Emha Ainun Nadjib—hal itu masih pencapaian pada ‘terminal pertama’, yang hendaknya diteruskan pada ‘terminal kedua’ atau terakhir; yakni karena taat (cinta, mahabbah kepada-Nya)! Atau, pandangan tentang pahala (surga) itu, ibaratnya hanya sebatas satu wajah permukaan sekeping uang, yang semestinya dilanjutkan dengan permukaan wajah keping uang lainnya, sehingga menjadi bolak-balik dalam satu keping mata uang. Dengan demikian, dalam menjalankan ibadah apa saja—baik yang ibadah mahdhah (khusus) atau ibadah umum—bukan dilandasi karena ingin meraih pahala atau surga-Nya, tetapi semata-mata karena ketaatan atau kecintaan kepada-Nya. Subhanallah, hanya hamba-hamba-Nya pilihan saja yang bisa menerapkan amaliyah seperti itu.
Dalam sejarah peradaban mengenai peribadatan, setidaknya memang ada tiga alasan mengapa manusia menjalankan ibadah.
Pertama, manusia beribadah karena merasa takut terhadap siksa neraka.
Kedua, manusia beribadah karena ingin mendapatkan pahala (surga).
Ketiga, sebagian kecil manusia ada yang beribadah karena semata-mata taat (cinta) kepada-Nya.
Dan, orang yang taat, cinta, serta senantiasa berdzikir (mengingat-Nya) siang dan malam, mereka bukan saja mendapatkan surga tertinggi (Surga Firdaus), tetapi juga mendapatkan bonus di dalamnya; yakni memandang wajah Allah yang mulia, sebagaimana firman-Nya: “Wajah-wajah para ahli surga pada hari itu berseri-seri, karena dapat melihat kepada Tuhannya.” (QS Surah Qiamah: 22-23).


Dari buku; Jika Surga-Neraka (Tak Pernah) Ada, Penerbit REPUBLIKA JAKARTA, 2007.

Kamis, 05 Juli 2007

Rahasia Shalat Subuh


Kontroversi kebatinan


Perdebatan langit dan bumi


Membaca tanda tanda alam


Kitab Ketentraman


Kepemimpinan Jawa


Ilmu Hasthabrata - Sastra Jendra Hayuningrat

Ada baiknya--khususnya jika sebagai 'wong Jawa'--kita mengenal ajaran simbolis-metafora dalam pewayangan melalui kharakter wayang. Wayang bukan sekedar tontonan, tapi sekaligus menjadi tuntunan dalam kehidupan. Makanya, seorang yang menjadi dalang, ia dituntut kepiawaiannya dalam empat hal, yakni;
1. Gendhing; menguasai lelagoning gendhing
2. Gendheng; maknanya ada dua, yakni 1) mampu gerong atau kur paduan suara dalam mengiringi gendhing dan 2) mampu mengayomi.
3. Gandhung; percaya diri
4. Gendheng; menganggap diri paling benar
5. Gandhang; (cetha lan seru, wijang wijiling wicara); suaranya jelas dan bagus.

Wah....wah....sebegitu dahsyatnya ya....! Penasaran? Baca kali....ye...!

Kisa Para Sufi

Marilah kita tengok ‘jalan para sufi’ di dalam buku ini, di antaranya seperti yang diaplikasikan dan dihayati oleh kekasih Allah hingga mereka dikenal sebagai hamba Allah yang berkepribadian sebagai insan kamil, orang yang merdeka, dan selalu ‘berpesta Allah’ setiap harinya.
Pertama, sebut saja, misalnya, Sari as-Saqathi—orang pertama yang mengajarkan kebenaran mistik dan fana’ (peleburan) sufi di Kota Baghdad dan sekaligus paman Syech Imam Junaid—yang dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat tinggi dalam berdisiplin diri dalam ber-taqarrub ilallah. Kepada seseorang yang datang kepadanya, ia bertanya: “Jalan manakah yang engkau inginkan: ‘jalan para sufi’ ataukah ‘jalan hukum’? Jalan yang ditempuh orang kebanyakan ataukah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
Kedua, ketokohan Dzun Nun al-Mishri—yang nama aslinya Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri lahir di Mesir—dalam dunia tasawuf memang sangat mendalam, sehingga dikenal sebagai guru sufi. Ia pernah mengkritik seorang ‘putra mahkota’ penguasa Mesir (Pangeran) dengan melotarkan kata-kata: “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat melawan Si Kuat!”
Ternyata, kritikan Dzun Nun mengena, sehingga setelah hati ‘putra mahkota’ terbuka, ia segera mendatangi Dzun Nun di rumahnya dan bertanya: “Tolong aku ditunjuki, manakah jalan menuju Allah?”
Dzun Nun memberikan jawabannya: “Ada ‘jalan yang kecil’ dan ada ‘jalan yang besar’. Manakah yang engkau sukai?”
Apa yang dimaksud Dzun Nun mengenai ‘jalan kecil’ dan ‘jalan besar’? ‘Jalan kecil’ yang dimaksud Dzun Nun adalah meninggalkan dunia dan menundukkan hawa nafsu serta menjauhi perbuatan dosa atau maksiat, sedangkan ‘jalan besar’ adalah meninggalkan segala sesuatu kecuali Allah dengan mengosongkan hati.
Dzun Nun juga pernah memberikan tiga nasihat kepada Yusuf al-Husain yang pernah berguru kepadanya untuk mendapatkan wejangan tentang Ismuladhom (Nama Allah yang Agung). Pertama, ‘nasihat besar’ adalah melupakan segala sesuatu yang telah dia baca dan menghapuskan segala sesuatu yang telah dia tulis agar selubung penutup matanya terbuka. Kedua, ‘nasihat sedang’ adalah melupakan sang guru (Dzun Nun) dan tidak membicarakan mengenai dirinya dengan siapapun juga. Ketiga, ‘nasihat kecil’ yaitu menyeru manusia kepada Tuhan mereka!
Dan, ternyata yang mampu dipilih oleh Yusuf al-Husain adalah ‘nasihat kecil’ atau ‘jalan yang terkecil’; yakni menyeru manusia kembali kepada Tuhan mereka (Allah Swt). Itu pun, Dzun Nun juga memberikan persyaratan bahwa ketika menyeru manusia kepada Tuhan, tidak boleh menyeru mereka karena mereka. Artinya, menyeru kepada Allah (berdakwah) hanya semata-mata karena Allah (ikhlas lillah-billah).
Ketiga, jalan yang telah ditempuh Syech Ibrahim Bin Adham; yakni dengan jalan meninggalkan istana kerajaannya yang penuh gemerlapan di Balk-Iraq, kemudian menggunakan pakaian bulu domba dan melakukan pengembaraan spiritual. Ia berdisiplin diri di dalam gua dengan shalat Tahajud setiap malamnya dan berpuasa Senin Kamis terus-menerus (istiqomah).
Bagi hamba-hamba Allah seperti itu memang sudah tak terikat lagi dengan perasaan senang atau susah, kaya ataupun miskin. Itulah pencapaian derajad insan kamil; karena mereka telah melampaui maqam ridho (rodhiyah) sehingga mendapatkan ridho-Nya (mardiyah). Para sufi tersebut, barangkali, boleh dikatakan telah melampaui dan menerapkan konsep Wihdatul Wujud (Wujudiyah), Martabat Tujuh, Maqam Tujuh dan seterusnya yang dalam wacananya membahas sesuatu dalam spiritualitas tingkat tinggi.

Dari buku; Kisah Para Sufi; Perjalanan Menuju Maqam Cinta Sejati, Penerbit Tiga Serangkai Solo, 2006.


Islam Jawa


Hati Menjadi Tentram Mengingat Allah


Dzikir


Cinta Segitiga


Cermin Hati

Cermin. Ya, cermin. Apalagi ini bukan sembarang cermin, melainkan “Cermin Hati”—sebagaimana judul buku ini—sekali lagi, semoga ada guna-manfaatnya. Apabila kita melihat cermin, tentu bisa kita bayangkan manfaat dan kegunaannya, yakni sebagai alat untuk berhias diri. Betapa repotnya jika di rumah kita tidak ada cermin: sudah rapikah kita? Apakah rambut kita masih acak-acakan? Bagaimana pula dengan wajah kita yang jerawatan?
Jika cermin yang bersifat dhahir saja sudah begitu banyak manfaatnya, apalagi dengan cermin hati! Rasulullah Saw telah menginformasikan kepada kita bahwa orang mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya. Artinya, getaran aura orang mukmin itu bisa memantul kepada orang mukmin lainnya. Menjadi satu-kesatuan seolah tak terpisahkan.
Menurut Sayid ‘Abdullah bin Husein bin Thohir r.a, sabda Rasulullah—“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”—itu mengandung jawami’ul kalim (kalimat yang singkat, tetapi sarat dengan makna). Artinya, hadits Rasulullah bisa dipahami oleh seseorang sesuai dengan pemahaman dan cahaya yang diberikan Allah kepadanya, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Hati yang bersih itu adalah seperti cermin yang bening dan terang. Dengan keadaan hati yang bening seperti itu, hamba Allah tersebut mampu “menangkap” hakikat segala sesuatu yang terukir di Lauh Mahfuzd. Begitu hijab (tabir) terangkat dan cermin berada di hadapan Lauh Mahfuzd, tersingkaplah hakikat-hakikat ilmu dan terangkatnya tabir, terkadang di waktu tidur dan terkadang dalam keadaan terjaga, dan itulah kebiasaan Sufi. Dan terkadang dengan tiupan angin lembut tanpa sebab dari pihak hamba atau persiapan, sehingga berkilau di dalam hati dari belakang tabir keajaiban suatu keajaiban ilmu. Dan, menurut Al-Ghazali, puncak penyingkapan seperti itu ketika datang kematian, di mana hijab terangkat seluruhnya. Itulah yang dimaksud sabda Nabi Saw: “Semua manusia dalam keadaan tidur, maka apabila sudah mati, mereka pun terbangun.”
Hamba Allah yang telah tersingkap tabir (hijab) dikenal dengan kasyaf. Dan, itulah yang dimaksudkan perumpamaan bahwa hati orang mukmin seperti cermin. Dari cermin tersebut kemudian didapatkan ilmu-ilmu hakikat, perumpamaannya adalah seperti gambar-gambar yang terlihat di dalam cermin.
Berbahagialah Umar Bin Khathab yang hatinya selalu melihat Tuhan, sehingga Allah pun menyucikan hatinya. Begitu pula dengan Abu Bakar Ash-Shidiq; sebagaimana sabda Rasulullah: “Andaikata iman Abu Bakar ditimbang dengan iman seluruh alam selain para nabi, niscaya unggullah iman Abu Bakar.”
Memang, demikianlah bahwa hati manusia itu ada empat macam, yakni;
Pertama, hati yang terang seperti lampu, itulah hati orang mukmin.
Kedua, hati yang gelap dan terbalik, itulah hati orang kafir.
Ketiga, hati yang tertutup dan terikat pada tutupnya, itulah hati munafik.
Keempat, hati yang berlapis di mana terdapat iman dan sifat munafik.
Menurut Nabi Saw, hati manusia pun bisa berkarat seperti besi yang juga berkarat. Ada yang bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Rasulullah menjawab: “Mengingat mati dan membaca al-Qur’an.”
Dari buku; Cermin Hati; Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, Penerbit Tiga Serangkai Solo, 2006.

Selasa, 03 Juli 2007

CAKRAMANGGILINGAN


BAGI orang Jawa, tentu, tidak asing lagi dengan sebutan Tembang (Tembang Jawa). Namun demikian, bagaimana pembagian klasifikasi mengenai Tembang Jawa, tentu, masih banyak yang belum mengetahui secara detail! Maklum, semakin berkembangnya zaman—terlebih pada era globlalisasi dewasa ini—nampaknya nilai-nilai seni-budaya makin kurang diminati, sehingga menjadikannya semakin surut. Derasnya arus budaya Barat yang masuk ke Indonesia—khususnya Jawa—sedikit banyak menyebabkan lunturnya nilai-nilai Ketimuran, termasuk di dalamnya nilai-nilai seni budaya Jawa.
Dalam khasanah seni-budaya Jawa, Tembang Macapat ini mencakup 11 (sebelas) pupuh (tembang) yakni sebagai berikut; 1) Mijil, 2) Sinom, 3) Asmarandana, 4) Kinanthi, 5) Dhandhanggula, 6) Maskumambang, 7) Durma, 8) Pangkur, 9) Gambuh, 10) Megatruh, dan 11) Pucung.
Tembang Macapat—dari Mijil sampai Pucung di atas—ternyata merupakan potret ‘siklus kehidupan’ manusia atau gambaran ‘perjalanan hidup manusia’ sejak lahir (mijil) sampai mati atau menjadi pocongan (pucung). Itulah ajaran keselamatan ‘Kejawen’ yang tertanam di hati sanubari melalui tembang. Alunan tembang tersebut didendangkan setiap kesempatan dalam senandung nyanyian-nyanyian (kekidungan lan ura-ura), diresapi dalam rasa dan diingat dalam akal budi sampai turun-temurun. Irama Tembang Macapat menggambarkan siklus kehidupan manusia dalam ‘alam purwa, madya, wasana’ (dunia awal, kini, dan akhir); yakni semenjak ada (lahir), kemudian hidup di dunia sampai meninggal dunia (mati).
Dan, itulah refleksi dari ‘siklus kehidupan’ atau ‘perjalanan manusia’ yang direkam dalam Tembang Macapat oleh para Pujangga Jawa; ibaratnya seperti ‘cakramanggilingan’ (roda berputar dalam kehidupan manusia).
Semua itu terekam dalam buku ini; CAKRAMANGGILINGAN, Makna Hidup dalam Kearifan Tradisional, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta, 2007.

Salam Kenal

Salam kenal,



Saya, Wawan Susetya, lahir di Tulungagung tanggal 1 Desember 1969. Saya adalah anak pertama dari empat bersaudara, putra dari Bapak Sudjinal dan Ibu Murti Sukesi.



Alhamdulillah, sampai pertengahan 2007 ini, buku karya saya sudah 22 buah yang sudah terbit, sedang puluhan lagi masih menunggu terbit dari beberapa penerbit. Dan, inilah karya buku-buku saya.

Fotoku


Salam kenal,




Saya, Wawan Susetya, lahir di Tulungagung tanggal 1 Desember 1969. Saya adalah anak pertama dari empat bersaudara, putra dari Bapak Sudjinal dan Ibu Murti Sukesi.




Karya Buku Wawan Susetya

Alhamdulillah, sampai pertengahan Juli 2007 ini, saya telah menghasilkan 22 buah buku yang sudah terbit, selain puluhan buku yang masih nunggu terbit alias antre di beberapa penerbit. Menulis, bagi saya, nampaknya memang tak terelakkan lagi, lantaran hoby saya sejak kecil memang menulis. Awalnya, saya menulis puisi atau syair (kalau dalam Bahasa Jawa; geguritan) dan cerita. Lalu, saya memberanikan diri untuk mengirim ke majalah. Dan, alhamdulillah, tulisan pertama saya (yaitu cerpen) dimuat di Majalah Panjebar Semangat berbahasa Jawa saat saya masih kelas III SLTP. Betapa senangnya hati saya saat itu. Lalu, kegiatan menulis pun berlanjut hingga menulis reportase atau berita. Dan, tak tahunya saya sempat mendapatkan "Surat Tugas" Kewartawanan dari Majalah Jaya Baya terbitan Surabaya. Yah, katakanlah 'wartawan kecil' yang kesukaannya mewawancarai anak-anak muda berprestasi, entah di bidang tarik suara, panjat tebing, atau menulis sesuatu yang menarik di sekitar saya. Masih remaja kecil dapat honorarium sendiri ketika itu, rasanya seneng sekali.



Begitulah, awal dari kegiatan menulis saya, justru berangkat dari menulis berbahasa Jawa; yakni di Majalah Panjebar Semangat dan Majalah Jaya Baya. Keduanya terbitan Surabaya dan masih eksis sampai sekarang.



Terutama yang saya senangi pada waktu itu, yakni menulis tentang cerita wayang kulit. Maklumlah, bapak saya (Pak Sudjinal) adalah seorang dalang wikalpa dan pensiunan Kandep Dikbud, jadi memang sangat concern terhadap perkembangan budaya Jawa, terutama kesenian wayang kulit. Dan alhamdulillah, betapa banyaknya tulisan saya waktu SMA mengenai cerita wayang ini.



Begitu lulus dari kuliah di salah satu perguruan tinggi di Malang tahun 1994, saya langsung diterima sebagai 'kuli disket' alias wartawan di Jawa Pos News Network (JPNN) di biro Malang-Jawa Timur. Empat tahun lamanya jadi wartawan, banyak suka-dukanya, terutama saat-saat mendekati deadline!



Di Malang juga, saya juga mengajar di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) dan Stikma Internasional Malang, selain banyak diundang pula sebagai pembicara dari kampus ke kampus di Malang. Tahun 1999, saya hijrah ke Jakarta bergabung dengan Gus Dur di DPP PKB. Juga bergabung dengan budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam komunitas "Kiai Kanjeng", terutama aktif dalam Pengajian Padhang Bulan di Jombang dan "Kenduri Cinta" di Jakarta. Nah, dari sinilah lahir buku saya pertama bersama Sdr. Alfan M. Alfian M dan Aprinus Salam yang berjudul "Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib" tahun 2001 yang diterbitkan Penerbit Republika bekerja sama dengan Penerbit Zaituna Yogyakarta. Alhamdulillah.



Setelah itu, saya menikah dengan seorang perempuan sholihah asal Tuban Jawa Timur, namanya Muashofah tanggal 6 Juli 2003.



Maka, sejak perkawinan itulah, saya sengaja menjatuhkan suatu 'pilihan berat' sebagai penulis buku. Meski hanya bermodalkan tekad dan keyakinan, saya memberanikan diri untuk terus berkarya. Sejak 2003 menulis, ternyata buku yang terbit berikut pertengahan 2005, judulnya "Perdebatan Langit dan Bumi" yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.



Itulah suka-duka menulis buku, menunggu, menunggu lagi, lama lagi, tetapi akhirnya alhamdulillah diterbitkan lagi, yakni pada September 2006; judul "Cermin Hati" dan "Kisah Para Sufi" yang diterbitkan Tiga Serangkai Solo. Lebih menggembirakan lagi, buku mengenai wayang saya diterbitkan pula oleh Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta; judulnya "Dari Ilmu Hastha Brata sampai Sastra Jendra Hayuningrat".



Alhamdulillah, sejak itu tulisan buku saya banyak dilirik para penerbit lain. Alhamdulillah, buku saya diterima oleh banyak penerbit, di antaranya Penerbit Narasi, Sketsa (Media Pressindo Grup) Yogyakarta, Penerbit Tugu Publisher Yogyakarta, Penerbit Diva Press Yogyakarta, dan sebagainya.

Mari Menulis

"Menulis itu gampang," demikian ujar pengarang kondang Arswendo Atmowiloto.
Meski demikian, bagi orang yang tidak biasa menulis, pekerjaan ini serasa lebih berat daripada mengangkat sekian kwintal beban berat! Ada-ada saja alasan yang mereka pakai. Pendek kata, mereka sudah terlanjur kadung mengklaim bahwa ia tak bisa menulis. Itu saja, titik!

Betapa ruginya jika alasan itu selalu dipakai sebagai hujjah agar dirinya terbebas dari menulis. Padahal, ayat pertama yang turun kepada Baginda Rasul Muhammad Saw berbunyi "Iqra' bismi rabbikal ladzi kholaq" (artinya; bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!). Maksudnya, membaca ini merupakan 'pasangan' dari menulis, seperti 'dialektika kehidupan'! Ada pria-wanita, langit-bumi, hitam-putih, baik-buruk, kaya-miskin, dan seterusnya. Logikanya, jika ada perintah membaca, tentu dikaitkan dengan menulis. Menulis apa saja, cerita, artikel, esay, puisi, reportase, buku, humor, novel, dan seterusnya.

Menurut Dahlan Iskan--bos Jawa Pos Group--jika seseorang mau menulis, menulis saja. Tidak usah membayangkan kesulitannya. Lama-kelamaan, insyaallah akan terbiasa dan kelak akan melahirkan tulisan yang berkualitas. Tentu, sambil praktik menulis, hendaknya diiringi dengan terus belajar sambil berdiskusi dengan ahlinya.

Asyik deh pokoknya jika suka menulis, apalagi sekarang banyak forum-forum para penulis, tentu selain maksudnya untuk meningkatkan kualitas karya-karya mereka, juga untuk mendorong atau sekaligus sebagai wahana bagi para pemula alias pendatang baru penulis yunior.

Selamat mencoba untuk berkarya dengan menulis.
Semoga sukses..........., amien.