Kamis, 05 Juli 2012

Terbit Th 2012

KUASA KEPIMPINAN ILAHIAH, PENERBIT PTS MILLENIA MALAYSIA, 2012


KETIKA Allah Swt menciptakan manusia, tentunya, Dia sebagai ‘Sutradara jagad semesta’ juga menurunkan model kepemimpinan—baik dalam kepribadian maupun kepemimpinan universal—sebagaimana yang diaplikasikan 25 Rasul/Nabi Allah sejak Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad Saw. Dalam konteks khalifah Allah di muka bumi, Dia tidak menjadikan Malaikat sebagai utusan-Nya, tetapi Dia mengangkat manusia biasa dari kalangan mereka sendiri. Hal tersebut jelas mengisyaratkan adanya kevalidan dalam mengatur umat manusia; sebab mereka tidak diperintah untuk meniru Malaikat, melainkan meneladani kepribadian dan kepemimpinan para Rasul/Nabi Allah yang juga manusia biasa.
            ‘Perjalanan ruhani’ 25 Rasul/Nabi Allah di dalam al-Qur’an, jika disimak secara seksama menunjukkan adanya perjalanan yang utuh dalam diri manusia. Selanjutnya, ‘perjalanan ruhani’—dalam wacana kerasulan dan kenabian tersebut—terus bergerak dan menuju pada tingkat kesempurnaan yang dipresentasikan atau dimanifestasikan oleh Nabi Pamungkas Jagad; Muhammad Saw. Dengan demikian, Muhammad Saw merupakan penyempurna dari para Rasul/Nabi Allah sebelumnya.
            Demikian juga dalam wacana kepemimpinan Ulul ‘Azmi—yakni lima orang Rasul/Nabi Allah yang dinilai sangat besar perjuangannya dalam melakukan syi’ar agama Allah dan menghadapi umatnya—juga mengisyaratkan adanya ‘perjalanan ruhani’ manusia. Nabi Nuh a.s yang melambangkan ‘bayi’ atau ‘anak kecil’, Nabi Ibrahim a.s melambangkan ‘anak remaja’, Nabi Musa a.s melambangkan ‘pemuda perkasa’, Nabi Isa a.s melambangkan ‘orang tua yang lembut’, dan Nabi Muhammad Saw melambangkan penyempurna kepribadian komprehensif dari semua ‘spesialisasi’ watak penugasan para Rasul sebelumnya itu.
            Itulah induk kepemimpinan universal yang harus dijadikan  poros atau pusat perhatian umat manusia. Sebab, kepemimpinan Rasul/Nabi Allah didasarkan atas dua hal prinsip: yakni peran sebagai seorang utusan Allah yang menerima wahyu Ilahi sehingga mendapat bimbingan-Nya yang haq dan peran mentranformasikan nilai-nilai ilahiyah ke dalam kemasyarakatan yang dalam sejarahnya selalu mendapat pertentangan serta perlawanan yang hebat dari kaumnya.
            Meski Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir, tetapi kepemimpinan universal yang memancar dan mencahaya dalam kepribadiannya akan diwarisi dan diteruskan oleh para penerusnya yang berpegang pada dua sumber; al-Qur’an dan hadits Nabi. Sepeninggal Muhammad, bagaimana kiprah dan sepak terjang para sahabat Nabi—khususnya empat sahabat; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib—yang mengekspresikan kepemimpinan yang dihayati dan dijiwainya dari kepemimpinan Rasulullah.
Dan, demikian halnya dengan ‘kepemimpinan’ perempuan yang dipresentasikan dengan empat wanita termulia; yakni Siti Khadijah (isteri Nabi Muhammad Saw), Siti Maryam (ibunda Nabi Isa a.s), ‘Asiyah (isteri Raja Fir’aun) dan Fatimah az-Zahra (puteri Muhammad dan Khadijah). Mereka, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Saw adalah sebaik-baik penghuni surga. Dan, mereka adalah para perempuan yang memiliki derajat yang paling tinggi di sisi-Nya.

Sabtu, 05 Mei 2012


Menulis dengan Hati, Menulis dengan Merdeka

Oleh: Wawan Susetya
Disampaikan dalam Pelatihan Menulis Di Dinas Perpustakaan Daerah Tulungagung
Minggu, 6 Mei 2012



Menulis Itu Gampang           
            “Sebenarnya menulis itu sangat gampang!” Barangkali ungkapan tersebut tidak berlebihan terutama bagi para penulis, apalagi penulis senior yang telah banyak makan asinnya garam dalam dunia tulis-menulis. Bahkan, bagi seorang penulis profesional, menulis merupakan suatu “kebutuhan” yang tak terelakkan sebagaimana Anda butuh makan-minum, butuh pakaian, dan seterusnya. Hal itu berarti, jika ia tidak menulis dalam beberapa hari, misalnya, kemungkinan besar ia akan mengalami pusing atau penat.  
            Meski kenyataannya banyak para mahasiswa yang kebingungan ketika mendapat tugas membuat karya ilmiah atau para mahasiswa tingkat akhir yang kelabakan ketika mengerjakan tugas akhir membuat skripsi, tetapi sekali lagi menulis itu sebenarnya sangat gampang.
            Mengapa gampang?
            Bagaimana dikatakan gampang?
            Bagaimana tidak gampang, sedang menulis itu sesungguhnya sekadar aktivitas merangkai huruf, lalu menjadi kata. Kata demi kata pun dirangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat yang dirangkai kemudian menjadi satu paragraf (alinea). Sedang, paragraf yang satu dengan paragraf yang lain jika digabungkan akan menjadi satu bab tulisan sebuah buku. Dan, bab demi bab tersebut kemudian benar-benar menjadi sebuah buku yang utuh. Oleh karena itu, agar Anda tidak terlalu pusing memikirkan buku yang tebal, hendaknya Anda memandang bahwa buku tersebut hanyalah berisi kumpulan bab demi bab atau kumpulan tulisan pendek saja. Sementara, bab atau tulisan pendek itu sendiri hanyalah kumpulan dari paragraf (alinea), sedang paragraf itu sendiri hanya kumpulan dari beberapa kalimat, kalimat hanya kumpulan dari beberapa kata, dan kata hanyalah kumpulan dari beberapa huruf.
Nah, dengan demikian terlihat sederhana bukan?!
Sekali lagi, jika Anda dapat merangkai huruf-huruf menjadi kata, merangkai kata-kata menjadi kalimat, merangkai kalimat-kalimat tersebut menjadi paragraf (alinea), merangkai paragraf-paragraf (alinea-alinea) menjadi sebuah tulisan pendek atau satu bab, dan merangkai beberapa bab atau beberapa tulisan pendek, maka Anda sudah dapat membuat sebuah buku yang utuh. Sesederhana itulah, sehingga menulis sebenarnya sangatlah gampang!
            Lebih dari itu, mengapa menulis dikatakan gampang, setidaknya hal itu menyangkut jam terbang. Artinya, semakin Anda giat berlatih menulis, menulis, dan menulis setiap hari, tentu Anda pun akan menjadi terlatih dan trampil dalam menulis. Hal itu tak ubahnya sebagaimana anak-anak kecil ketika belajar naik sepeda, meski kerapkali mengalami jatuh-bangun, tetapi lama-kelamaan benar-benar menjadi trampil. Demikianlah bahwa menulis itu memang membutuhkan suatu proses, sering berlatih dan berlatih, menulis dan menulis secara istiqomah hingga akhirnya benar-benar menjadi trampil atau mahir.


Menulis dengan Hati, Menulis Merdeka  
            Aktivitas apa saja yang tidak dilakukan dengan sepenuh hati, terlebih lagi dalam urusan menulis, niscaya hasilnya tidak bagus. Hal itu seperti dinyatakan oleh Stephen King: “Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.”
Para pengarang novel hebat, seperti Ahmad Tohari dengan karyanya “Ronggeng Dukuh Paruk”, Andrea Hirata dengan “Laskar Pelangi”, Habiburrahman dengan “Ayat-Ayat Cinta”, Pramoedya Ananta Toer dengan ‘Arok-Dedes’, Gunawan Muhammad dengan ‘Catatan Pinggir’-nya, Emha Ainun Nadjib dengan karya-karya esainya, Quraish Shihab dengan buku-bukunya dan sebagainya telah menunjukkan hal itu, sehingga karya-karya mereka diminati banyak orang. Mereka dengan totalitas penuh saat menulis novel, saat berkarya.
            Oleh karena itu, sebelum berkarya menulis, sebaiknya Anda menenangkan diri terlebih dahulu. Jika Anda sudah dapat menguasai diri dengan melibatkan sepenuh hati serta dengan totalitas penuh, niscaya tulisan-tulisan Anda akan dapat mencerahkan, memberi inspirasi, membangun jiwa, atau memberi pengetahuan dan seterusnya bagi pembaca Anda.
            Ketahuilah bahwa sebenarnya menulis itu merupakan sebuah kemerdekaan bagi setiap orang, termasuk Anda! Kita semua berhak menulis apa saja, tentu maksudnya menulis yang bersifat positif. Dan, karena menulis adalah ekspresi kemerdekaan, maka Anda jangan merampas kemerdekaan orang lain. Jangan pula, misalnya Anda membuat tulisan yang isinya mengancam keselamatan orang lain, menghina dan menghujat, mengumbar seksualitas, menebarkan api kebencian, menodai agama dan kepercayaan orang lain, dan seterusnya.
            Saya yakin bahwa semua penulis akan merasa senang, girang hati dan bahagia tatkala tulisannya—entah berupa artikel, cerpen, atau easy—dimuat di media massa (majalah, koran), apalagi ketika naskah buku Anda diterbitkan oleh penerbit! Bahkan, para wartawan yang tulisan beritanya 99 persen akan dimuat di medianya, toh mereka tetap merasa senang ketika melihat tulisannya dimuat di majalah/koran mereka. Makanya pagi-pagi ketika koran datang, tentu yang dilihat oleh para wartawan yaitu tulisan mereka sendiri.
            Berbeda dengan di era globalisasi dewasa ini, Anda dapat mengirim tulisan berupa puisi, cerpen, easy, artikel dan dijamin pasti dimuat atau ditayangkan, misalnya di jejaring sosial, seperti facebook atau kompasiana, dan sebagainya. Kalau Anda mempunyai uang lebih, maka Anda pun bisa menerbitkan buku di penerbitan indie. Bukan hanya penerbit indie saja, bahkan penerbit besar pun sekarang ini mau menerbitkan tulisan orang lain termasuk soal pembiayaannya. Tak mengherankan jika kesempatan itu dimanfaatkan oleh para politisi yang hendak membangun citra diri untuk kepentingan Pilkada II dan I, pilihan legislatif, dan seterusnya. Tetapi, puaskah jika Anda melakukan hal seperti itu? Sebab, sejelek apapun naskah tulisan Anda, karena Anda sendiri yang menanggung biayanya, tentu naskah buku Anda itu dapat diterbitkan oleh penerbit berskala nasional dengan kelengkapan ISBN-nya pula.
            Menurut saya, karena menulis merupakan wahana kemerdekaan setiap individu, maka kesempatan itu hendaknya kita pergunakan sebaik mungkin. Misalnya bagaimana kita dapat membuat suatu tulisan yang bersifat informatif, menggugah kesadaran agar bangkit berkarya, mencerahkan, membangun jiwa, memberikan penyadaran untuk menemukan diri, menebarkan ilmu pengetahuan yang positif, dan seterusnya. Pendek kata, Anda dapat menyampaikan pesan positif melalui buku yang Anda buat, entah buku fiktif (novel) atau non fiktif.


Rahasia dalam Menulis Buku
            Disadari atau tidak sesungguhnya kedudukan seorang penulis adalah sebagai seorang yang menguasai ilmu pengetahuan. Betapa tidak! Bayangkan, bagaimana kita akan dapat menulis bila tanpa menguasai ilmu pengetahuan? Atau, katakanlah bagaimana kita akan dapat menuangkan pemikiran kita bila tidak menguasai suatu ilmu apapun?
            Idealnya, seorang penulis memang menguasai suatu ilmu tertentu (spesifik), sebagaimana jalur akademik di perguruan tinggi yang kalau digambar bentuknya seperti piramida. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka ia akan semakin mengerucut (khusus). Seorang lulusan S-3 (Doktor) adalah seorang yang menguasai pada satu bidang secara khusus, yang lebih spesifik daripada lulusan Sarjana S-1 dan S-2. Atau, istilahnya seorang pakar atau seorang ahli adalah “mengetahui banyak terhadap sedikit hal”. Sedangkan saya, maaf, dalam kapasitas sebagai penulis ini, sesungguhnya sangat kurang ideal karena latar-belakang saya sebagai wartawan, maka saya menggunakan teori; “mengetahui sedikit terhadap banyak hal”.
            Meski demikian, tentu siapapun boleh menjadi penulis, termasuk Anda semua. Dalam hal ini, tak berlebihan kiranya jika kita dituntut untuk terus belajar dan belajar, terutama berkaitan dengan minat-bakat yang kita senangi. Betapa banyaknya orang-orang yang bukan sarjana, ternyata mereka memiliki kemampuan hebat dalam menulis. Sebaliknya, betapa masih banyak pula kalangan intelektual dari akademisi yang merasa kesulitan menuangkan pemikirannya melalui tulisan atau buku!
            Sebelum menulis buku, banyak orang yang memulai menulis artikel, opini, easy, cerpen atau resensi yang kemudian dikirimkan ke media massa. Lama-kelamaan, setelah terbiasa dan terlatih menulis cerpen, misalnya, dia akan melanjutkan menulis novel (fiksi) hingga diterbitkan oleh penerbit. Demikian halnya yang terbiasa menulis artikel (opini) di koran-koran, lama-kelamaan mereka pun akan terlatih dan mahir menulis buku non fiksi.
Lalu, apa rahasianya agar kita dapat menulis buku?
Dalam hal ini, menurut hemat saya, ada dialektika atau hubungan timbal-balik yang tidak boleh dilupakan yaitu membaca dan menulis. Ini merupakan ‘kata kunci’ penting yang musti dijaga oleh para calon penulis. Dengan banyak membaca, membaca apa saja seperti buku, majalah, koran, browsing internet, dan seterusnya tentu akan memudahkan kita mendapatkan inspirasi atau informasi yang mencerahkan. Apalagi, membaca merupakan perintah pertama Tuhan, sebagaimana ternukil dalam ayat pertama dalam Surah Al-‘Alaq (al-Qur’an), yaitu iqra’ (bacalah!). Jelas hal itu mengisyaratkan bahwa membaca merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat manusia.
Bahkan, disadari atau tidak, sesungguhnya pola pikir dan tindakan kita pun akan diwarnai oleh buku apa yang kita baca! Betapa ruginya jika kita telah membaca banyak hal yang merupakan input, tetapi kita tidak mampu menuliskannya sebagai out put atau produk yang Anda hasilkan. Renungkanlah penuturan Stephen King: “Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis”.
Bahkan, Hernowo Hasyim, seorang penulis dan praktisi kepenulisan mengatakan, “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”.
Dalam hal ini Hernowo Hasyim menandaskan tentang pentingnya ‘mengikat makna’,  yakni mengikat ilmu pengetahuan yang Anda baca dengan menuliskannya. Membaca memang baik dan penting, tetapi jika hanya membaca tanpa menulis, tentu tidak menjadi sempurna. Bukankah menulis lebih baik daripada sekedar membaca saja? Hal itu nampaknya identik dengan hadits Nabi Saw: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan ‘Hujjatul Islam’ mengatakan, “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Yang jelas, pernyataan Imam al-Ghazali tersebut mengisyaratkan bahwa menulis merupakan amal sholeh dalam kehidupan sehari-hari. Dan, dalam sejarahnya karya buku Imam al-Ghazali sebanyak 313 buah, sedang yang sudah masuk ke Indonesia hanya sekitar 18 buku. Salah satu karya Imam Ghazali yang paling kesohor yaitu berjudul Ihya’ Ulumuddien.
            Kalau, misalnya, Anda sudah membaca buku atau majalah dan koran, menonton televisi, berselancar ke dunia maya (internet) dan seterusnya, tetapi belum mendapatkan inspirasi tentang tema apa yang hendak Anda tulis, barangkali ada baiknya Anda berdiam diri di tempat yang sunyi untuk melakukan perenungan (kontemplasi). Dan, jangan heran ketika Stephen King mengatakan: “Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu, kita sendirilah yang menciptakannya”!
Dan, menurut Stephen King, ketika seorang penulis hanya menunggu dan menunggu datangnya inspirasi itu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri. Di sinilah pentingnya bagi seorang penulis untuk mengetahui minat-bakatnya sejak awal, sehingga mengetahui benar tentang apa yang harus ia tulis, termasuk siapa gerangan segmen (pangsa pasar) pembaca dari karya buku yang Anda hasilkan.
Yang paling penting yaitu bahwa menulis, menurut Sastrawan Pramoedya Ananta Tour identik bekerja untuk keabadian! Betapa pun seseorang sangat pandai, bahkan bergelar Profesor Doktor sekalipun, tetapi jika dia tidak membuahkan karya tulis berupa buku, niscaya dia tak akan dikenang dalam sejarah. Dengan menulis, maka karya Anda akan dapat dinikmati sepanjang masa oleh generasi sesudah kita hingga anak-cucu kelak dan seterusnya.
           



Hal-hal Penting dalam Menulis
Patut dicatat bahwa bagi para calon penulis diharapkan memiliki kebiasaan diskusi, yang sejatinya merupakan perwujudan berpikir itu sendiri. Artinya, para calon penulis diharapkan sangat kreatif, berpikir kritis, cerdas, memiliki daya kontekstual hebat dalam menggabungkan antara teori dan kenyataan di masyarakat.
Para calon penulis buku tidak saja dituntut menguasai teknik-teknik menulis yang baik dan benar, bahkan mereka diharapkan dapat menghadirkan “ruh” pada karya tulis (buku) yang mereka buat. Harapannya agar tulisan Anda bukan saja enak dibaca, tetapi juga penting. Bahkan, karya tersebut dijadikan referensi bagi penulis lain, dikoleksi di perpustakaan umum, dijadikan pegangan akademisi, dan terlebih dapat mencerahkan para pembaca Anda.
            Lalu, hal-hal apa saja yang patut diperhatikan oleh para calon penulis buku?
Setidaknya ada beberapa hal penting sebagai rambu-rambu yang patut diperhatikan bagi para calon penulis buku, yaitu;

1). Membangun Keyakinan
            Bahwa buku kita akan diterima publik, dapat memberikan inspirasi dan menggugah orang lain atau bahkan menjadi best seller, sebenarnya dalam hal ini memiliki peluang yang sama dengan penulis hebat sekali pun. Jadi, antara penulis pemula dengan penulis senior tak ada bedanya.  


2). Persepsi Menulis Buku Mudah
Ini penting, sebab orang yang tidak memiliki persepsi bahwa menulis buku itu sebenarnya mudah, maka ia akan menganggap bahwa menulis buku itu sulit. Kalau demikian, selamanya ia merasa sulit menulis buku.

3). Memilih Tema Yang Tepat
Dalam memilih tema ini disesuaikan dengan kesenangan atau minat Anda dalam menulis buku. Selain itu, bolehlah jika kita menengok tentang tema buku yang sedang ngetren atau menjadi best seller saat ini. Dan, jika Anda mampu menuliskannya, mengapa tidak?

4). Membuat Outline atau Kerangka Tulisan
Pembuatan outline atau kerangka tulisan ini tujuannya agar penulisan kita menjadi efektif, lebih fokus dan tidak melebar. Tetapi, bagi Anda yang dapat menulis tanpa membuat outline atau kerangka tulisan, hal itu juga tidak masalah.

5). Memiliki Gaya Penulisan Sendiri
Boleh jadi, pada saat awal latihan menulis, Anda boleh meniru gaya penulis yang Anda senangi, seperti gaya Gunawan Muhammad, Emha Ainun Nadjib, Andrea Hirata, Habiburrahman El-Shirazy dan sebagainya. Setelah berulangkali Anda menulis seperti gaya penulis idola, maka Anda berusaha menjadi menjadi diri Anda sendiri. Artinya, Anda sudah mempunyai gaya penulisan sendiri, sehingga berbeda dengan gaya penulis idola Anda sebelumnya.

6). Menguasai Teknik Penulisan
Sebagai seorang penulis, maka kita dituntut untuk menguasai teknik penulisan berdasarkan pilihan kita, apakah kita hendak menulis buku fiksi atau non fiksi.

7). Mengalirkan Gairah, Semangat, Visi dan Misi
Salah satu rahasia keberhasilan buku-buku bestseller adalah pada kemampuannya dalam “berbicara” atau menjalin hubungan emosional dengan para pembacanya. Buku yang mengesankan adalah buku yang mampu memengaruhi dan menggerakkan pembacanya, miscalnya dengan mengungkapkan pikiran-pikiran atau ide-idenya. Dengan demikian penulis mampu mentransfer antusiasme, keyakinan, visi-visi, dan kejujurannya kepada pembaca.

8). Menguasai Teknik Pengayaan Dan Penyuntingan Naskah
Setelah kita selesai melakukan penulisan buku, hendaknya kita lakukan pengolahan atau editing naskah kita sehingga menjadi sempurna. Dalam hal ini termasuk mengecek lagi tentang penyuntingan dan pengayaan, istematika tulisan, judul bab dan sub bab, ketepatan teori dan pendekatan, kelengkapan data maupun variasi contoh kasus, pengembangan gaya bahasa populer, dan termasuk editing bahasa.

9). Memilih Judul yang Tepat
Judul-judul buku seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, atau buku-buku saya; Cermin Hati, Kontroversi Ajaran Kebatinan, Perdebatan Langit Dan Bumi, Brawijaya Moksa, dan seterusnya, menurut saya sudah bagus. Diharapkan paling banyak tiga kata, tidak lebih. Kalau lebih dari tiga kata, jadinya malah membosankan. Setidaknya, dengan tiga kata, maka judul tersebut dapat memberi kesan positif kepada pembaca.

10). Mencari Penerbit yang Sesuai
Langkah terakhir jika buku kita sudah selesai, yakni mencari penerbit yang memiliki misi yang sesuai dengan isi tulisan kita. Semakin besar penerbit tersebut, maka akan semakin terbuka peluang buku kita diterima pubik atau menjadi laris-manis di pasaran, syukur best seller.



o0o

Senin, 23 April 2012

Novel; Matahari Kembar Di Mandura (Diva Press)

Antara Perebutan ‘Tiga Ta’ (Harta, Tahta, Wanita)

Dan Makna ‘Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti’

SESUAI namanya, wayang, yang berarti wayangan (bayangan), maka kisah atau cerita yang ditampilkan pun sebenarnya merupakan kaca benggala (cermin) dari bayangan kehidupan manusia di muka bumi itu sendiri. Novel wayang yang berjudul “Matahari Kembar Di Mandura” (Pergolakan Tahta Mandura; Raden Kangsadewa Menagih Janji) yang mengungkap kisah Dewi Maerah dan puteranya Raden Kangsadewa sebagai tokoh jahat (antagonis) beserta Prabu Basudewa, Raden Kakrasana dan Raden Narayana sebagai tokoh baik (protagonis) ini pun juga demikian. Kisah yang berlatar Negeri Mandura dengan para tokohnya yang protagonis maupun antagonis, tak ayal juga mencakup dua makna seperti bunyi judul di atas.

Pertama, hampir semua kisah dalam pewayangan (wayang) sepertinya tak lepas dari perebutan unsur ‘tiga ta’; yakni harta, tahta, dan wanita!

Kedua, mengandung makna falsalah kehidupan yang sangat fundamental, yakni ‘sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’ (kebatilan walaupun sebesar raksasa yang menguasai dunia akan hancur oleh kebenaran).

Tak salah kiranya jika ada orang yang berpendapat bahwa cerita atau kisah dalam pewayangan hanya berkutat ‘tiga ta’ yaitu harta, tahta, dan wanita. Bahkan, terjadinya perang dalam kisah pewayangan tersebut seolah-olah hanya karena perebutan tahta dan kekuasaan belaka. Pandangan orang tadi, misalnya dihubungkan dengan kisah Ramayana yang hanya memperebutkan Dewi Shinta antara Raden Rama Wijaya dengan Prabu Dasamuka (Rahwana Raja). Juga kisah Bratayuda Jayabinangun (Mahabharata) yang seolah-olah hanya memperebutkan Negeri Ngastina antara Kurawa dan Pandhawa. Demikian halnya dengan kisah pergolakan Negeri Mandura dalam novel ini; seolah-olah hanya mengenai perebutan tahta singgasana Mandura antara Raden Kangsadewa dengan dua orang ‘putera mahkota’ Raden Kakrasana dan Raden Narayana saja.

Tetapi, betapa dangkalnya jika pandangan tersebut hanya dijadikan satu-satunya jawaban atas persoalan kisah pewayangan; bukankah di dalamnya juga tersirat kandungan makna filosofi atau falsafah kehidupan yang sangat adiluhung? Sebut saja dalam kisah novel pewayangan buku ini, setidaknya di sana tercermin suatu sesanti yang merupakan falsafah kehidupan; yakni ‘sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’!

Dalam hal ini, Raden Kangsadewa, putera Dewi Maerah dengan pasangan gelapnya Prabu Gorawangsa Raja Guwabarong adalah tokoh antagonis yang memulai terjadinya gara-gara (pergolakan) di Mandura. Hal itu berawal ketika Dewi Maerah hendak dilamar Prabu Basudewa, tetapi ia meminta bebana (persyaratan, permintaan); jika ia memiliki seorang putera, maka puteranya kelak harus dinobatkan sebagai Raja Mandura menggantikan kedudukan Sang Prabu. Dan, karena Sang Prabu begitu terpesona dengan kecantikan Dewi Maerah, maka ia pun memenuhi bebana itu, sehingga Sang Dewi diangkat sebagai permaisuri ketiga. Sebelumnya Prabu Basudewa telah memiliki dua orang prameswari (permaisuri) yaitu Endhang Rohini dan Dewi Dewaki.

Tetapi, apakah pengabulan Sang Prabu terhadap permintaan Dewi Maerah itu hanya semata-mata karena tertarik dengan kecantikannya saja? Barangkali tidak! Sebab, dua orang permaisurinya Dewi Rohini dan Dewi Dewaki, bahkan ditambah dengan seorang garwa selir (isteri selir) lagi bernama Dewi Badrahini, hingga saat itu masih belum asesuta (belum memiliki momongan). Padahal, bukankah kebahagiaan seorang Raja-binathara jika ia sudah memiliki anak keturunan?

Ternyata Dewi Maerah berselingkuh! Yaitu dengan seorang danawa raja (raja raksasa) bernama Prabu Gorawangsa Raja Guwabarong. Dan, buah cinta Dewi Maerah dengan Prabu Gorawangsa itu melahirkan Raden Kangsadewa yang kemudian menjadi seorang yang sekti mandraguna. Dalam perkembangan berikutnya, Dewi Maerah selalu ‘menyuntikkan’ energi negatif kepada puteranya Raden Kangsadewa bahwa dia adalah ‘putera mahkota’ Mandura, bahkan Sang Prabu pernah menjanjikan kepadanya bahwa puteranya-lah yang kelak berhak atas tahta singgasana Negeri Mandura.

Padahal, bukankah Raden Kangsadewa adalah ‘buah cinta’ Dewi Maerah dengan selingkuhannya Prabu Gorawangsa? Artinya, meski Sang Prabu pernah mengucapkan suatu janji kepada Dewi Maerah atas tahta Mandura, tetapi karena Dewi Maerah telah berselingkuh, maka semestinya janji itu batal secara otomatis! Tetapi begitulah yang terjadi! Karena Dewi Maerah telah dirasuki nafsu syahwat ambisius kekuasaan lalu ‘ditransfer’ kepada puteranya sejak kecil, tak ayal setelah dewasanya Raden Kangsadewa benar-benar menagih janji tahta Mandura kepada Prabu Basudewa. Bahkan, Sang Prabu pun masih bermurah hati dengan mengangkat Raden Kangsa sebagai Pangeran Anom Adipati di Kesatriyan Sengkapura.

Di sisi lain, ketiga isteri Prabu Basudewa pun mothah (meminta) agar Sang Prabu berkenan menjalankan semadi atau manungku puja untuk mendapatkan wangsit (bisikan ghaib); jalan apakah yang musti ditempuh agar mereka bertiga dapat memiliki anak? Sang Prabu sendiri juga bercita-cita memiliki anak-anak sebagai titising Dewa-Bathara!

Dan, berdasarkan petunjuk wangsit dari Gusti Kang Akarya Jagad bahwa Prabu Basudewa beserta ketiga isterinya supaya menjalankan mbebedhag (berburu) di Hutan Kumbina. Setidaknya, hal itu merupakan pergulatan keprihatinan yang musti ditempuh Prabu Basudewa beserta ketiga isterinya. Dewi Rohini, Dewi Dewaki dan Dewi Badrahini pun hamil. Dan, setelah saatnya melahirkan, Dewi Rohini melahirkan Raden Kakrasana sebagai titising Bathara Laksmanasadu dan Sang Hyang Naga Basuki. Dewi Dewaki melahirkan Raden Narayana yang merupakan jelmaan Bathara Whisnu. Sedang Dewi Badrahini melahirkan Rara Ireng.

Sebagai titising Dewa Bathara, tak pelak Raden Kakrasana dan Raden Narayana sejak kecil harus menjalani kehidupan lara lapa (keprihatinan) di padepokan Widarakandhang yang diasuh oleh Ki Antyagopa dengan Nyai Segopi. Dari sinilah Raden Kakrasana dan Raden Narayana gemar menjalani tapa brata hingga mendapatkan anugerah Dewata Agung; yakni Kakrasana memperoleh Senjata Nanggala dari Bathara Brahma, sedang Narayana mendapatkan Senjata Cakra dari Bathara Whisnu. Bahkan, Narayana juga mendapatkan anugerah lain dari Begawan Padmanaba, mahagurunya, yaitu berupa Kembang Wijayakusuma dan Aji Balasewu.

Selanjutnya, sebagai titising Dewa Bathara yang telah dibekali senjata yang ampuhnya kagila-gila (sangat dahsyat), maka Raden Kakrasana dan Raden Narayana berkewajiban mangrurah satru sekti (memberantas musuh sakti) yang dur angkara murka (berwatak jahat). Bukankah pula tugas satriya utama (ksatria sejati) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi serta ‘memayu hayuning bawana’ (menyelamatkan dan memakmurkan bumi)?

Dan, sesuai pakem (kisah baku pewayangan) akhirnya Raden Kakrasana dan Raden Narayana benar-benar dapat menjalankan misinya dengan baik, yakni memberantas kejahatan di muka bumi yang diejawantahkan dengan membunuh Raden Kangsadewa dengan Senjata Nanggala dan Senjata Cakra! Sementara, Patih Suratrimantra jagonya Raden Kangsadewa tewas di tangan Raden Harya Bima, panenggak Pandhawa sebagai jago Prabu Basudewa dalam pertarungan ‘hidup-mati’; yakni ‘adu jago’ dengan taruhan Negeri Mandura bagi pemenangnya.

Sebagaimana kisah-kisah dalam pewayangan, maka lakon (kisah) “Kangsadewa Lena” ini diakhiri dengan happy ending, yakni bahwa kejahatan atau kebatilan pasti akan hancur oleh kebenaran. Hal itu sesuai dengan makna falsafah yang terkandung dalam kisah ini; “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’!

Novel Wayang; Puntadewa (Diva Press)

Mengurai Makna Falfasah

-“Wani Ngalah Luhur Wekasane”

-“Menang Tanpa Ngasorake”

JIKA Anda mengenal karakter Prabu Puntadewa, barangkali ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan ekspresi kepribadiannya yaitu sebagai seorang yang ‘wani ngalah luhur wekasane’! Piwulang (ajaran) Jawa tersebut artinya bahwa manusia hendaknya berani mengalah, ketahuilah bahwa tindakan mengalah tersebut akan membawa pada derajat yang luhur (kebaikan tinggi). Dan, patut diingat bahwa mengalah di sini bukan berarti kalah, tetapi mengalah demi kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bukankah dengan demikian orang yang mengalah itu pada hakikatnya justru menjadi pihak yang menang?

Berbicara menang dan kalah, tentu merupakan dua kutub yang berseberangan atau bertolak-belakang; suka-duka, senang-susah, gembira-sedih, atau sesuatu yang mengenakkan dan tidak mengenakkan! Betapa akrabnya telinga kita dengan kata “menang-kalah”, terutama dengan maraknya agenda Pilkada, Pilgup, Pileg hingga Pilpres di negara kita. Kemenangan dan kekalahan dalam hal ini adalah dua keadaan yang bertolak-belakang, yang satu bergembira, sedang yang lain bersedih hati! Dua keadaan yang tidak bisa dipertemukan, lantaran keadaannya seperti langit dan bumi!

Bagaimana dengan Anda?

Apakah kedudukan, pangkat jabatan, karir atau prestasi yang Anda dapatkan dengan mengalahkan orang lain? O, betapa tidaknya diri Anda jika kebahagiaan yang Anda impikan dan cita-citakan itu ternyata harus dibarengi dengan penderitaan dan kesedihan orang lain di lain pihak. Betapa tidak enjoy-nya perasaan kita jika kesuksesan, keberhasilan, dan kejayaan atau kemenangan yang kita peroleh ternyata harus mengalahkan orang lain?! Lalu, bagaimana nikmatnya seseorang dapat menikmati hidup, yang ibaratnya seperti “tertawa di atas penderitaan orang lain”?

Barangkali, di sinilah pentingnya kehadiran kisah atau cerita pewayangan (dalam pementasan wayang kulit) yang bukan saja merupakan suatu tontonan, tetapi juga tuntunan. Kalau tontonan merupakan sesuatu yang bersifat menghibur, tetapi kalau tuntunan merupakan sesuatu yang bersifat mencerahkan. Sesuai dengan tema besar dalam novel ini, Puntadewa, maka marilah kita gali gambaran karakter kepribadian Sang Prabu Puntadewa, pembarep Pandhawa dalam novel ini.

Dalam kehidupannya, Prabu Puntadewa ini dikenal sebagai penyabar, adil dan bijaksana, pemurah, jujur atau tak pernah berbohong, bahkan tak pernah marah sedikit pun. Karena itulah Raja Ngamarta itu dikenal sebagai seorang satriya yang memiliki ludira seta (darah putih). Apapun yang dimintanya pasti diberikan, termasuk barang yang paling berharga sekali pun, seperti pusaka ‘Jamus Kalimasada’ dan permaisurinya Dewi Drupadi! Dalam lakon “Indrajala Maling”, misalnya, dikisahkan ada seorang maling bernama Indrajala yang meminta kepada Prabu Puntadewa senjata Ngamarta (Jamus Kalimasada) dan istrinya Dewi Drupadi. Dan, Prabu Puntadewa pun menyerahkan Jamus Kalimasada dan istrinya Dewi Drupadi kepada Indrajala.

Tetapi, betapa kagetnya Si Indrajala ketika tiba-tiba tubuh Prabu Puntadewa berubah menjadi seorang raksasa yang besarnya sagunung anakan? Begitulah, kalau Prabu Puntadewa me-rapal Ajian Gundhawijaya dalam triwikrama, sehingga ia berubah menjadi raksasa besar. Maka, tanpa diminta pun, akhirnya Indrajala menyerahkan kembali pusaka Jamus Kalimasada dan Dewi Drupadi kepada Prabu Puntadewa.

Terkait dengan sikap ‘wani ngalah luhur wekasanae’ di atas, patut kiranya kita menjadikan sosok dan pribadi Prabu Puntadewa sebagai cermin kehidupan! Bayangkan, betapa Puntadewa dan saudaranya Pandhawa selalu dihinakan, dipinggirkan, dikuya-kuya, bahkan beberapa kali diancam keselamatannya hendak dibunuh, dan seterusnya oleh para Kurawa yang dipimpin oleh Raden Duryudana dan Patih Sengkuni.

Meski sesungguhnya tahta singgasana Ngastina merupakan hak Raden Puntadewa sebagai peninggalan dari mendiang ramandanya Prabu Pandhu Dewanata, tetapi kenapa justru yang diterima Raden Puntadewa dan saudaranya Pandhawa adalah ancaman pembunuhan para Kurawa pada peristiwa pembakaran Bale Sigala-Gala?

Meski demikian, ketika Prabu Anom Kurupati hanya memberikan sebagian kecil dari kekuasaan Kerajaan Ngastina yaitu Hutan Wanamarta, maka Pandhawa pun nrima ing pandum atas pemberian itu. Dan, di Hutan Wanamarta-lah akhirnya para Pandhawa babad alas, lalu mendirikan kerajaan di sana, yang disebut Negara Ngamarta, Batanakawarsa, atau Ngendraprastha.

Bahkan, setelah Prabu Puntadewa berhasil membawa Negara Ngamarta mengalami maju pesat, para Kurawa pun hendak merampasnya pula. Lalu cara apa yang hendak ditempuh Prabu Duryudana dan Patih Sengkuni kalau bukan dengan jalan culas dan licik?

Begitulah, akhirnya Prabu Duryudana mengundang Prabu Puntadewa dan Pandhawa diajak bermain dadu. Dan, melalui permainan dadu itulah Prabu Puntadewa harus melepaskan Negerinya Ngamarta kepada Kurawa. Bahkan, sejak itu pula Prabu Puntadewa beserta Dewi Drupadi serta para Pandhawa harus menjalani hukuman buang di hutan belantara selama 12 tahun. Kelak kalau sudah selesai menjalani masa hukuman buang 12 tahun, para Pandhawa harus melakukan namur lampah (menyamar) di suatu negara selama setahun. Jika dalam penyamarannya selama setahun itu para Pandhawa diketahui para telik sandi Ngastina, maka para Pandhawa harus mengulangi lagi hukuman buang di hutan belantara selaama 12 tahun. Begitu seterusnya.

Di sisi lain, Prabu Puntadewa itu juga memiliki nama lain yaitu Ajathasatru; artinya orang yang tidak mempunyai musuh! Boleh jadi orang lain menganggap musuh, tetapi kenyataannya Prabu Puntadewa tidak menganggap sebagai musuh.

Setidaknya, sosok dan pribadi Prabu Puntadewa juga mengingatkan kepada penulis atas ajaran Raden Mas Panji Sosrokartono yang sangat fenomenal itu, yakni ajaran tentang; “Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake.”

Dalam hal ini, patut kiranya kita mengambil entry point tentang ‘menang tanpa ngasorake’ yang hampir identik dengan bahasan sebelumnya yaitu ‘wani ngalah luhur wekasane’. Falsafah Raden Mas Panji Sosrokartono ‘menang tanpa ngasorake’ (menang tanpa mengalahkan), tentu dimaksudkan bukan untuk mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan diri sendiri. Dus dengan demikian, yang menang adalah dirinya atas dirinya sendiri.

O…………betapa indahnya jika dalam kehidupan ini banyak orang berlomba-lomba untuk menjalankan falsafah RMS Panji Sosrokartono tersebut; yakni falsafah ‘menang tanpa ngasorake’! Menang tanpa mengalahkan berarti seseorang dapat ‘menundukkan dirinya sendiri’ atau mengendalikan hawa nafsunya, sehingga nafsunya tak lagi menggelora dalam dirinya. Maka yang menang adalah rasa imannya, rasa, sukmanya atau urip-e (hidupnya) yang dapat mengenyahkan bisikan-bisikan setan dan nafsu, sehingga mereka menjadi lebih parek (dekat) kepada Allah Swt.


Biografi Nafsu Manusia PTS Millennia

Dalam kehidupan di dunia ini, disadari atau tidak, hancur-tidaknya dunia ini sesungguhnya hanya ‘bergantung’ dari kondisi hawa nafsu manusia. Jika hawa nafsu manusia tergolong baik, tentu mereka bersedia dengan sepenuh hati menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardh, yaitu memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi lawan katanya adalah mengadakan kerusakan atau kehancuran, yang tak lain disebabkan oleh ‘kolaborasi’ antara hawa nafsu yang buruk dengan setan (iblis) laknatullah!

Bagi kaum muslimin yang berpegang teguh kepada kitabullah al-Qur’an, tentu tak asing dengan firman Allah Swt (QS Asy-Syams [91]: 9-10): “....sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Sementara, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang baik (suci), maka Dia tidak akan menerima (sesuatu), kecuali yang baik (suci).” (HR Imam Muslim).

Dan, nampaknya tak terelakkan lagi bahwa dalam kehidupan ini terdiri dari dua golongan; yakni golongan baik dan golongan jahat (buruk). Golongan kanan dan golongan kiri. Atau golongan ahli surga dan golongan ahli neraka. Diturunkannya para Nabi/Rasul oleh Allah Swt ke muka bumi agar membimbing umat manusia ke jalan yang lurus atau jalan yang diridhai-Nya, tetapi di antara manusia ada yang mengikuti petunjuknya dan ada pula yang mengingkarinya. Yang mengingkari, tentu disebabkan oleh hawa nafsunya yang buruk! Mengapa mereka tidak mengikuti petunjuk Allah sebagaimana yang dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul-Nya?!

Demikianlah bahwa orang-orang yang mengingkari bimbingan dan tauladan para Nabi/Rasul Allah, biasanya disebabkan karena ambisinya untuk penguasaan “Tiga ta”; yakni harta, tahta, wanita. Ini tidak main-main, karena mereka benar-benar menyimpan “Tiga ta” tersebut di dalam hatinya. Jika demikian, karena hatinya tidak dipergunakan untuk dzikrullah (mengingat Allah), maka apalagi yang akan dilakukan jika bukan bertindak secara machiavelli; yakni menghalalkan segala macam cara untuk meraih keinginannya?!

Itulah tabiat orang-orang yang berhati kotor, yakni hati yang diselubungi oleh hawa nafsu busuk. Dan, keadaan seperti itu pernah diisyaratkan oleh Rasulullah Saw yang diriwayatkan Ibn ‘Asakir dari Ibn Umar bahwa di akhir zaman ada kecenderungan bahwa orang tidak lagi memperhatikan rezekinya, apakah didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram. Selain itu, Nabi Saw juga mengingatkan bahwa kelak akan ada ‘zaman fitnah’, yakni seorang pejabat tak lagi bisa dipegang amanatnya, banyak ulama yang hanya ahli berpidato, tetapi tidak mengamalkan ajaran agama, bahkan banyak gangguan dari orang lain, dan seterusnya.

Dalam buku ini, penulis menguraikan secara detail dan rinci mengenai seluk-beluk hawa nafsu dan bagaimana caranya menundukkan, melembutkan, menjinakkan atau mengarahkan hawa nafsu ke arah yang benar. Yang paling utama, tentu kaum muslimin harus berusaha mengenyahkan jauh-jauh ‘hijab spiritual’; yakni terpesona oleh kemolekan duniawi, bujuk-rayu atau godaan setan, larut dalam kesenangannya kepada sesama manusia dan hawa nafsu itu sendiri. Dan, di antara empat poin ‘hijab spiritual’ tersebut, yang paling berat dilakukan oleh pelaku spiritual adalah menundukkan hawa nafsu.

Karebet VS Penangsang (PENERBIT IMANIA, 2011)

Pasca runtuhnya istana Majapahit, Raden Patah yang mendeklarasikan Kasultanan Demak Bintoro juga tak diakui oleh Ki Ageng Kebo Kenanga (Raja Pengging) yang justru menjadi pengikut setia Syech Siti Jenar! Keduanya terlibat mbalela atawa aksi pembangkangan terhadap Sultan Patah hingga berakhir dengan hukuman mati!

Berbeda dengan sikap Ramandanya, Jaka Tingkir—putra Ki Ageng Kebo Kenanga atau cicit Prabu Brawijaya V—justru berani tampil secara elegan. Ia memulai karirnya dengan mengabdi kepada Sultan Trenggana (putra Sultan Patah), bahkan kemudian menjadi menantu Kanjeng Sultan setelah menikahi Retna Mas Cempaka.

Demikianlah, menyimak pergulatan para ksatria trah keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit sampai Demak hingga Pajang, memang, tak luput dari segala intrik, dendam kesumat, kecengengan dalam beragama, romantika cinta, dan seterusnya.

Lantas, siapakah sebenarnya penerus tahta ‘metamorfosis’ Prabu Brawijaya V yang sesungguhnya; Raden Patah ataukah Jaka Tingkir?

Mengapa pula Arya Penangsang Adipati Jipang berani menantang kepemimpinan Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya di Kasultanan Pajang?

Ken Dedes Sang Penggoda

MESKI menjadi korban penculikan Sang Penguasa Tumapel Tunggul Ametung, namun Ken Dedes tak larut dalam kedukaan dalam penjara jiwa yang membelenggunya di lingkungan Pakuwuan Tumapel yang gemerlapan. Dengan kegenitan yang dipadukan dengan sifat kelemah-lembutannya, putri Mpu Parwa itu dapat meluluhkan hati Ken Arok, bekas gembong perampok yang menjadi pengawal pribadi Sang Akuwu. Seiring dengan cemerlangnya karir Ken Arok yang meroket bak meteor hingga ia dinobatkan sebagai Panglima Tumapel, aksi godaan yang dilancarkan Ratu Dedes terhadap Sang Panglima semakin menjadi-jadi. Puncaknya adalah terjadinya persekongkolan atau persekutuan antara Ken Dedes dengan Ken Arok untuk menggulingkan kekuasaan yang diktator dan otoriter.

Padahal, pada saat yang bersamaan muncul beberapa faksi yang hendak merongrong kekuasaan Tumapel, yaitu kubu Mpu Gandring, Kebo Ijo dan Yang Suci Belakangka.

Berhasilkah usaha Ratu Dedes bersama Panglima Ken Arok, murid Dang Hyang Loh Gawe?

Bagaimana pula aksi Sang Panglima Ken Arok memainkan peranannya meredam kemelut gonjang-ganjing di lingkungan Pakuwuan Tumapel?