Selasa, 31 Juli 2007
Senin, 16 Juli 2007
Jumat, 06 Juli 2007
Kamis, 05 Juli 2007
Ilmu Hasthabrata - Sastra Jendra Hayuningrat
Ada baiknya--khususnya jika sebagai 'wong Jawa'--kita mengenal ajaran simbolis-metafora dalam pewayangan melalui kharakter wayang. Wayang bukan sekedar tontonan, tapi sekaligus menjadi tuntunan dalam kehidupan. Makanya, seorang yang menjadi dalang, ia dituntut kepiawaiannya dalam empat hal, yakni;
1. Gendhing; menguasai lelagoning gendhing
2. Gendheng; maknanya ada dua, yakni 1) mampu gerong atau kur paduan suara dalam mengiringi gendhing dan 2) mampu mengayomi.
3. Gandhung; percaya diri
4. Gendheng; menganggap diri paling benar
5. Gandhang; (cetha lan seru, wijang wijiling wicara); suaranya jelas dan bagus.
Wah....wah....sebegitu dahsyatnya ya....! Penasaran? Baca kali....ye...!
1. Gendhing; menguasai lelagoning gendhing
2. Gendheng; maknanya ada dua, yakni 1) mampu gerong atau kur paduan suara dalam mengiringi gendhing dan 2) mampu mengayomi.
3. Gandhung; percaya diri
4. Gendheng; menganggap diri paling benar
5. Gandhang; (cetha lan seru, wijang wijiling wicara); suaranya jelas dan bagus.
Wah....wah....sebegitu dahsyatnya ya....! Penasaran? Baca kali....ye...!
Selasa, 03 Juli 2007
CAKRAMANGGILINGAN
BAGI orang Jawa, tentu, tidak asing lagi dengan sebutan Tembang (Tembang Jawa). Namun demikian, bagaimana pembagian klasifikasi mengenai Tembang Jawa, tentu, masih banyak yang belum mengetahui secara detail! Maklum, semakin berkembangnya zaman—terlebih pada era globlalisasi dewasa ini—nampaknya nilai-nilai seni-budaya makin kurang diminati, sehingga menjadikannya semakin surut. Derasnya arus budaya Barat yang masuk ke Indonesia—khususnya Jawa—sedikit banyak menyebabkan lunturnya nilai-nilai Ketimuran, termasuk di dalamnya nilai-nilai seni budaya Jawa.
Dalam khasanah seni-budaya Jawa, Tembang Macapat ini mencakup 11 (sebelas) pupuh (tembang) yakni sebagai berikut; 1) Mijil, 2) Sinom, 3) Asmarandana, 4) Kinanthi, 5) Dhandhanggula, 6) Maskumambang, 7) Durma, 8) Pangkur, 9) Gambuh, 10) Megatruh, dan 11) Pucung.
Tembang Macapat—dari Mijil sampai Pucung di atas—ternyata merupakan potret ‘siklus kehidupan’ manusia atau gambaran ‘perjalanan hidup manusia’ sejak lahir (mijil) sampai mati atau menjadi pocongan (pucung). Itulah ajaran keselamatan ‘Kejawen’ yang tertanam di hati sanubari melalui tembang. Alunan tembang tersebut didendangkan setiap kesempatan dalam senandung nyanyian-nyanyian (kekidungan lan ura-ura), diresapi dalam rasa dan diingat dalam akal budi sampai turun-temurun. Irama Tembang Macapat menggambarkan siklus kehidupan manusia dalam ‘alam purwa, madya, wasana’ (dunia awal, kini, dan akhir); yakni semenjak ada (lahir), kemudian hidup di dunia sampai meninggal dunia (mati).
Dan, itulah refleksi dari ‘siklus kehidupan’ atau ‘perjalanan manusia’ yang direkam dalam Tembang Macapat oleh para Pujangga Jawa; ibaratnya seperti ‘cakramanggilingan’ (roda berputar dalam kehidupan manusia).
Semua itu terekam dalam buku ini; CAKRAMANGGILINGAN, Makna Hidup dalam Kearifan Tradisional, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta, 2007.
Dalam khasanah seni-budaya Jawa, Tembang Macapat ini mencakup 11 (sebelas) pupuh (tembang) yakni sebagai berikut; 1) Mijil, 2) Sinom, 3) Asmarandana, 4) Kinanthi, 5) Dhandhanggula, 6) Maskumambang, 7) Durma, 8) Pangkur, 9) Gambuh, 10) Megatruh, dan 11) Pucung.
Tembang Macapat—dari Mijil sampai Pucung di atas—ternyata merupakan potret ‘siklus kehidupan’ manusia atau gambaran ‘perjalanan hidup manusia’ sejak lahir (mijil) sampai mati atau menjadi pocongan (pucung). Itulah ajaran keselamatan ‘Kejawen’ yang tertanam di hati sanubari melalui tembang. Alunan tembang tersebut didendangkan setiap kesempatan dalam senandung nyanyian-nyanyian (kekidungan lan ura-ura), diresapi dalam rasa dan diingat dalam akal budi sampai turun-temurun. Irama Tembang Macapat menggambarkan siklus kehidupan manusia dalam ‘alam purwa, madya, wasana’ (dunia awal, kini, dan akhir); yakni semenjak ada (lahir), kemudian hidup di dunia sampai meninggal dunia (mati).
Dan, itulah refleksi dari ‘siklus kehidupan’ atau ‘perjalanan manusia’ yang direkam dalam Tembang Macapat oleh para Pujangga Jawa; ibaratnya seperti ‘cakramanggilingan’ (roda berputar dalam kehidupan manusia).
Semua itu terekam dalam buku ini; CAKRAMANGGILINGAN, Makna Hidup dalam Kearifan Tradisional, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta, 2007.
Salam Kenal
Salam kenal,
Saya, Wawan Susetya, lahir di Tulungagung tanggal 1 Desember 1969. Saya adalah anak pertama dari empat bersaudara, putra dari Bapak Sudjinal dan Ibu Murti Sukesi.
Alhamdulillah, sampai pertengahan 2007 ini, buku karya saya sudah 22 buah yang sudah terbit, sedang puluhan lagi masih menunggu terbit dari beberapa penerbit. Dan, inilah karya buku-buku saya.
Saya, Wawan Susetya, lahir di Tulungagung tanggal 1 Desember 1969. Saya adalah anak pertama dari empat bersaudara, putra dari Bapak Sudjinal dan Ibu Murti Sukesi.
Alhamdulillah, sampai pertengahan 2007 ini, buku karya saya sudah 22 buah yang sudah terbit, sedang puluhan lagi masih menunggu terbit dari beberapa penerbit. Dan, inilah karya buku-buku saya.
Fotoku
Karya Buku Wawan Susetya
Alhamdulillah, sampai pertengahan Juli 2007 ini, saya telah menghasilkan 22 buah buku yang sudah terbit, selain puluhan buku yang masih nunggu terbit alias antre di beberapa penerbit. Menulis, bagi saya, nampaknya memang tak terelakkan lagi, lantaran hoby saya sejak kecil memang menulis. Awalnya, saya menulis puisi atau syair (kalau dalam Bahasa Jawa; geguritan) dan cerita. Lalu, saya memberanikan diri untuk mengirim ke majalah. Dan, alhamdulillah, tulisan pertama saya (yaitu cerpen) dimuat di Majalah Panjebar Semangat berbahasa Jawa saat saya masih kelas III SLTP. Betapa senangnya hati saya saat itu. Lalu, kegiatan menulis pun berlanjut hingga menulis reportase atau berita. Dan, tak tahunya saya sempat mendapatkan "Surat Tugas" Kewartawanan dari Majalah Jaya Baya terbitan Surabaya. Yah, katakanlah 'wartawan kecil' yang kesukaannya mewawancarai anak-anak muda berprestasi, entah di bidang tarik suara, panjat tebing, atau menulis sesuatu yang menarik di sekitar saya. Masih remaja kecil dapat honorarium sendiri ketika itu, rasanya seneng sekali.
Begitulah, awal dari kegiatan menulis saya, justru berangkat dari menulis berbahasa Jawa; yakni di Majalah Panjebar Semangat dan Majalah Jaya Baya. Keduanya terbitan Surabaya dan masih eksis sampai sekarang.
Terutama yang saya senangi pada waktu itu, yakni menulis tentang cerita wayang kulit. Maklumlah, bapak saya (Pak Sudjinal) adalah seorang dalang wikalpa dan pensiunan Kandep Dikbud, jadi memang sangat concern terhadap perkembangan budaya Jawa, terutama kesenian wayang kulit. Dan alhamdulillah, betapa banyaknya tulisan saya waktu SMA mengenai cerita wayang ini.
Begitu lulus dari kuliah di salah satu perguruan tinggi di Malang tahun 1994, saya langsung diterima sebagai 'kuli disket' alias wartawan di Jawa Pos News Network (JPNN) di biro Malang-Jawa Timur. Empat tahun lamanya jadi wartawan, banyak suka-dukanya, terutama saat-saat mendekati deadline!
Di Malang juga, saya juga mengajar di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) dan Stikma Internasional Malang, selain banyak diundang pula sebagai pembicara dari kampus ke kampus di Malang. Tahun 1999, saya hijrah ke Jakarta bergabung dengan Gus Dur di DPP PKB. Juga bergabung dengan budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam komunitas "Kiai Kanjeng", terutama aktif dalam Pengajian Padhang Bulan di Jombang dan "Kenduri Cinta" di Jakarta. Nah, dari sinilah lahir buku saya pertama bersama Sdr. Alfan M. Alfian M dan Aprinus Salam yang berjudul "Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib" tahun 2001 yang diterbitkan Penerbit Republika bekerja sama dengan Penerbit Zaituna Yogyakarta. Alhamdulillah.
Setelah itu, saya menikah dengan seorang perempuan sholihah asal Tuban Jawa Timur, namanya Muashofah tanggal 6 Juli 2003.
Maka, sejak perkawinan itulah, saya sengaja menjatuhkan suatu 'pilihan berat' sebagai penulis buku. Meski hanya bermodalkan tekad dan keyakinan, saya memberanikan diri untuk terus berkarya. Sejak 2003 menulis, ternyata buku yang terbit berikut pertengahan 2005, judulnya "Perdebatan Langit dan Bumi" yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.
Itulah suka-duka menulis buku, menunggu, menunggu lagi, lama lagi, tetapi akhirnya alhamdulillah diterbitkan lagi, yakni pada September 2006; judul "Cermin Hati" dan "Kisah Para Sufi" yang diterbitkan Tiga Serangkai Solo. Lebih menggembirakan lagi, buku mengenai wayang saya diterbitkan pula oleh Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta; judulnya "Dari Ilmu Hastha Brata sampai Sastra Jendra Hayuningrat".
Alhamdulillah, sejak itu tulisan buku saya banyak dilirik para penerbit lain. Alhamdulillah, buku saya diterima oleh banyak penerbit, di antaranya Penerbit Narasi, Sketsa (Media Pressindo Grup) Yogyakarta, Penerbit Tugu Publisher Yogyakarta, Penerbit Diva Press Yogyakarta, dan sebagainya.
Begitulah, awal dari kegiatan menulis saya, justru berangkat dari menulis berbahasa Jawa; yakni di Majalah Panjebar Semangat dan Majalah Jaya Baya. Keduanya terbitan Surabaya dan masih eksis sampai sekarang.
Terutama yang saya senangi pada waktu itu, yakni menulis tentang cerita wayang kulit. Maklumlah, bapak saya (Pak Sudjinal) adalah seorang dalang wikalpa dan pensiunan Kandep Dikbud, jadi memang sangat concern terhadap perkembangan budaya Jawa, terutama kesenian wayang kulit. Dan alhamdulillah, betapa banyaknya tulisan saya waktu SMA mengenai cerita wayang ini.
Begitu lulus dari kuliah di salah satu perguruan tinggi di Malang tahun 1994, saya langsung diterima sebagai 'kuli disket' alias wartawan di Jawa Pos News Network (JPNN) di biro Malang-Jawa Timur. Empat tahun lamanya jadi wartawan, banyak suka-dukanya, terutama saat-saat mendekati deadline!
Di Malang juga, saya juga mengajar di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) dan Stikma Internasional Malang, selain banyak diundang pula sebagai pembicara dari kampus ke kampus di Malang. Tahun 1999, saya hijrah ke Jakarta bergabung dengan Gus Dur di DPP PKB. Juga bergabung dengan budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam komunitas "Kiai Kanjeng", terutama aktif dalam Pengajian Padhang Bulan di Jombang dan "Kenduri Cinta" di Jakarta. Nah, dari sinilah lahir buku saya pertama bersama Sdr. Alfan M. Alfian M dan Aprinus Salam yang berjudul "Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib" tahun 2001 yang diterbitkan Penerbit Republika bekerja sama dengan Penerbit Zaituna Yogyakarta. Alhamdulillah.
Setelah itu, saya menikah dengan seorang perempuan sholihah asal Tuban Jawa Timur, namanya Muashofah tanggal 6 Juli 2003.
Maka, sejak perkawinan itulah, saya sengaja menjatuhkan suatu 'pilihan berat' sebagai penulis buku. Meski hanya bermodalkan tekad dan keyakinan, saya memberanikan diri untuk terus berkarya. Sejak 2003 menulis, ternyata buku yang terbit berikut pertengahan 2005, judulnya "Perdebatan Langit dan Bumi" yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.
Itulah suka-duka menulis buku, menunggu, menunggu lagi, lama lagi, tetapi akhirnya alhamdulillah diterbitkan lagi, yakni pada September 2006; judul "Cermin Hati" dan "Kisah Para Sufi" yang diterbitkan Tiga Serangkai Solo. Lebih menggembirakan lagi, buku mengenai wayang saya diterbitkan pula oleh Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta; judulnya "Dari Ilmu Hastha Brata sampai Sastra Jendra Hayuningrat".
Alhamdulillah, sejak itu tulisan buku saya banyak dilirik para penerbit lain. Alhamdulillah, buku saya diterima oleh banyak penerbit, di antaranya Penerbit Narasi, Sketsa (Media Pressindo Grup) Yogyakarta, Penerbit Tugu Publisher Yogyakarta, Penerbit Diva Press Yogyakarta, dan sebagainya.
Mari Menulis
"Menulis itu gampang," demikian ujar pengarang kondang Arswendo Atmowiloto.
Meski demikian, bagi orang yang tidak biasa menulis, pekerjaan ini serasa lebih berat daripada mengangkat sekian kwintal beban berat! Ada-ada saja alasan yang mereka pakai. Pendek kata, mereka sudah terlanjur kadung mengklaim bahwa ia tak bisa menulis. Itu saja, titik!
Betapa ruginya jika alasan itu selalu dipakai sebagai hujjah agar dirinya terbebas dari menulis. Padahal, ayat pertama yang turun kepada Baginda Rasul Muhammad Saw berbunyi "Iqra' bismi rabbikal ladzi kholaq" (artinya; bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!). Maksudnya, membaca ini merupakan 'pasangan' dari menulis, seperti 'dialektika kehidupan'! Ada pria-wanita, langit-bumi, hitam-putih, baik-buruk, kaya-miskin, dan seterusnya. Logikanya, jika ada perintah membaca, tentu dikaitkan dengan menulis. Menulis apa saja, cerita, artikel, esay, puisi, reportase, buku, humor, novel, dan seterusnya.
Menurut Dahlan Iskan--bos Jawa Pos Group--jika seseorang mau menulis, menulis saja. Tidak usah membayangkan kesulitannya. Lama-kelamaan, insyaallah akan terbiasa dan kelak akan melahirkan tulisan yang berkualitas. Tentu, sambil praktik menulis, hendaknya diiringi dengan terus belajar sambil berdiskusi dengan ahlinya.
Asyik deh pokoknya jika suka menulis, apalagi sekarang banyak forum-forum para penulis, tentu selain maksudnya untuk meningkatkan kualitas karya-karya mereka, juga untuk mendorong atau sekaligus sebagai wahana bagi para pemula alias pendatang baru penulis yunior.
Selamat mencoba untuk berkarya dengan menulis.
Semoga sukses..........., amien.
Meski demikian, bagi orang yang tidak biasa menulis, pekerjaan ini serasa lebih berat daripada mengangkat sekian kwintal beban berat! Ada-ada saja alasan yang mereka pakai. Pendek kata, mereka sudah terlanjur kadung mengklaim bahwa ia tak bisa menulis. Itu saja, titik!
Betapa ruginya jika alasan itu selalu dipakai sebagai hujjah agar dirinya terbebas dari menulis. Padahal, ayat pertama yang turun kepada Baginda Rasul Muhammad Saw berbunyi "Iqra' bismi rabbikal ladzi kholaq" (artinya; bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!). Maksudnya, membaca ini merupakan 'pasangan' dari menulis, seperti 'dialektika kehidupan'! Ada pria-wanita, langit-bumi, hitam-putih, baik-buruk, kaya-miskin, dan seterusnya. Logikanya, jika ada perintah membaca, tentu dikaitkan dengan menulis. Menulis apa saja, cerita, artikel, esay, puisi, reportase, buku, humor, novel, dan seterusnya.
Menurut Dahlan Iskan--bos Jawa Pos Group--jika seseorang mau menulis, menulis saja. Tidak usah membayangkan kesulitannya. Lama-kelamaan, insyaallah akan terbiasa dan kelak akan melahirkan tulisan yang berkualitas. Tentu, sambil praktik menulis, hendaknya diiringi dengan terus belajar sambil berdiskusi dengan ahlinya.
Asyik deh pokoknya jika suka menulis, apalagi sekarang banyak forum-forum para penulis, tentu selain maksudnya untuk meningkatkan kualitas karya-karya mereka, juga untuk mendorong atau sekaligus sebagai wahana bagi para pemula alias pendatang baru penulis yunior.
Selamat mencoba untuk berkarya dengan menulis.
Semoga sukses..........., amien.
Langganan:
Postingan (Atom)