Selasa, 27 November 2007

Romantika Kehidupan Pernikahan







Ketika belum menikah, rasanya saya seperti orang linglung dan bingung sendiri. Apalagi kalau sedang sendirian di kamar, pikiran mengembara terbang dan menjelajah ke angkasa luar, entah kemana. Begitulah suasana hati orang yang masih bujang. Dan, tak terasa usia saya saat itu sudah di atas kepala 30.

Entahlah, kegundahan demi kegundahan untuk mencari 'sang bidadari', tapi tak kunjung ketemu. Barangkali kalau dihitung-hitung, sudah 15 kali lebih saya diajak orang untuk 'nontoni' perempuan-perempuan di berbagai daerah, dari pelosok desa Tulungagung sampai Jakarta.

Karena kegundahan saya belum ketemu jodoh, saat itu saya sempat menolak tawaran sebagai staf ahli di Konjen atau Kedubes di Arab Saudi. Waktu itu saya masih di Jakarta, aktif di Departemen Opini Publik PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Saya lebih memilih pulang kampung untuk menemukan jodoh saya. Mencari kemana-mana, tapi tak kunjung ketemu jua. Alhamdulillah, lewat mediator Mas Agus dan Om Syifa, akhirnya saya menemukan Shofa, perempuan yang tinggal di Karangagung, Palang, Tuban, Jatim. Dan, dengan Shofa (alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) itulah akhirnya saya menikah pada tanggal 6 Juli 2003. Insyaallah itulah masa 'perkawinan bahagia' saya dengan Shofa.

Sebelum menikah, saya sempatkan menulis surat kepada calon istri saya Shofa, antara lain saya kutipkan puisi WS Rendra:

"Kesadaran adalah matahari,
Kesabaran adalah bumi,
Keberanian menjadi cakrawala,
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."

Ternyata istri saya sangat senang membacanya, sehingga kalau pas lagi 'tong pes' (maksudnya kantong kempes), ia segera mengingatkan saya, "Katanya perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata?"

Ia, rupanya juga sangat suka dengan lagu 'Air Mata' Mas Iwan Fals yang sering saya nyanyikan dengan petikan gitar yang menyayat hati:
"Di sini kita bicara,
dengan hati telanjang,
lepaslah belenggu,
sesungguhnya lepaslah

Sesuatu yang hilang,
telah kita temukan,
walau mimpi ternyata,
kata hati nyatanya....

Reff:
Bagaimana pun aku harus kembali,
walau berat aku rasa kau mengerti,
simpanlah rinduku jadikan telaga,
agar tak usai mimpi panjang ini,
air mata .....nyatanya

Entah berapa lama,
kita mampu bertahan,
bukan soal untuk dibicarakan,
mengalirlah......mengalirlah......mengalirlah......"

Istri saya juga sangat suka dengan lagu-lagu Mas Ebiet G. Ade.

Saat itu, saya seringkali mengendapkan dan merenungkan wejangan Cak Nun (senior saya) tentang perkawinan yang indah. Nabi Musa melambangkan kebenaran, sedang Nabi Isa melambangkan kebaikan. Nah, perpaduan atau 'perkawinan' antara kebenaran dan kebaikan akan menjadikan keindahan yang dibawa oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Kami pun bercita-cita semoga bisa mewujudkan 'perkawinan yang indah' itu; yakni perkawinan yang sakinah mawaddah warrohmah. Amin.

Sejak itulah, saya lebih concern untuk menulis buku; suatu pekerjaan yang mengharuskan banyak membaca buku-buku dan belajar secara terus-menerus. "Long life education" barangkali itulah ungkapan yang tepat untuk saya jalani sampai sekarang.












Tidak ada komentar: