Senin, 23 April 2012

Novel Wayang; Puntadewa (Diva Press)

Mengurai Makna Falfasah

-“Wani Ngalah Luhur Wekasane”

-“Menang Tanpa Ngasorake”

JIKA Anda mengenal karakter Prabu Puntadewa, barangkali ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan ekspresi kepribadiannya yaitu sebagai seorang yang ‘wani ngalah luhur wekasane’! Piwulang (ajaran) Jawa tersebut artinya bahwa manusia hendaknya berani mengalah, ketahuilah bahwa tindakan mengalah tersebut akan membawa pada derajat yang luhur (kebaikan tinggi). Dan, patut diingat bahwa mengalah di sini bukan berarti kalah, tetapi mengalah demi kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bukankah dengan demikian orang yang mengalah itu pada hakikatnya justru menjadi pihak yang menang?

Berbicara menang dan kalah, tentu merupakan dua kutub yang berseberangan atau bertolak-belakang; suka-duka, senang-susah, gembira-sedih, atau sesuatu yang mengenakkan dan tidak mengenakkan! Betapa akrabnya telinga kita dengan kata “menang-kalah”, terutama dengan maraknya agenda Pilkada, Pilgup, Pileg hingga Pilpres di negara kita. Kemenangan dan kekalahan dalam hal ini adalah dua keadaan yang bertolak-belakang, yang satu bergembira, sedang yang lain bersedih hati! Dua keadaan yang tidak bisa dipertemukan, lantaran keadaannya seperti langit dan bumi!

Bagaimana dengan Anda?

Apakah kedudukan, pangkat jabatan, karir atau prestasi yang Anda dapatkan dengan mengalahkan orang lain? O, betapa tidaknya diri Anda jika kebahagiaan yang Anda impikan dan cita-citakan itu ternyata harus dibarengi dengan penderitaan dan kesedihan orang lain di lain pihak. Betapa tidak enjoy-nya perasaan kita jika kesuksesan, keberhasilan, dan kejayaan atau kemenangan yang kita peroleh ternyata harus mengalahkan orang lain?! Lalu, bagaimana nikmatnya seseorang dapat menikmati hidup, yang ibaratnya seperti “tertawa di atas penderitaan orang lain”?

Barangkali, di sinilah pentingnya kehadiran kisah atau cerita pewayangan (dalam pementasan wayang kulit) yang bukan saja merupakan suatu tontonan, tetapi juga tuntunan. Kalau tontonan merupakan sesuatu yang bersifat menghibur, tetapi kalau tuntunan merupakan sesuatu yang bersifat mencerahkan. Sesuai dengan tema besar dalam novel ini, Puntadewa, maka marilah kita gali gambaran karakter kepribadian Sang Prabu Puntadewa, pembarep Pandhawa dalam novel ini.

Dalam kehidupannya, Prabu Puntadewa ini dikenal sebagai penyabar, adil dan bijaksana, pemurah, jujur atau tak pernah berbohong, bahkan tak pernah marah sedikit pun. Karena itulah Raja Ngamarta itu dikenal sebagai seorang satriya yang memiliki ludira seta (darah putih). Apapun yang dimintanya pasti diberikan, termasuk barang yang paling berharga sekali pun, seperti pusaka ‘Jamus Kalimasada’ dan permaisurinya Dewi Drupadi! Dalam lakon “Indrajala Maling”, misalnya, dikisahkan ada seorang maling bernama Indrajala yang meminta kepada Prabu Puntadewa senjata Ngamarta (Jamus Kalimasada) dan istrinya Dewi Drupadi. Dan, Prabu Puntadewa pun menyerahkan Jamus Kalimasada dan istrinya Dewi Drupadi kepada Indrajala.

Tetapi, betapa kagetnya Si Indrajala ketika tiba-tiba tubuh Prabu Puntadewa berubah menjadi seorang raksasa yang besarnya sagunung anakan? Begitulah, kalau Prabu Puntadewa me-rapal Ajian Gundhawijaya dalam triwikrama, sehingga ia berubah menjadi raksasa besar. Maka, tanpa diminta pun, akhirnya Indrajala menyerahkan kembali pusaka Jamus Kalimasada dan Dewi Drupadi kepada Prabu Puntadewa.

Terkait dengan sikap ‘wani ngalah luhur wekasanae’ di atas, patut kiranya kita menjadikan sosok dan pribadi Prabu Puntadewa sebagai cermin kehidupan! Bayangkan, betapa Puntadewa dan saudaranya Pandhawa selalu dihinakan, dipinggirkan, dikuya-kuya, bahkan beberapa kali diancam keselamatannya hendak dibunuh, dan seterusnya oleh para Kurawa yang dipimpin oleh Raden Duryudana dan Patih Sengkuni.

Meski sesungguhnya tahta singgasana Ngastina merupakan hak Raden Puntadewa sebagai peninggalan dari mendiang ramandanya Prabu Pandhu Dewanata, tetapi kenapa justru yang diterima Raden Puntadewa dan saudaranya Pandhawa adalah ancaman pembunuhan para Kurawa pada peristiwa pembakaran Bale Sigala-Gala?

Meski demikian, ketika Prabu Anom Kurupati hanya memberikan sebagian kecil dari kekuasaan Kerajaan Ngastina yaitu Hutan Wanamarta, maka Pandhawa pun nrima ing pandum atas pemberian itu. Dan, di Hutan Wanamarta-lah akhirnya para Pandhawa babad alas, lalu mendirikan kerajaan di sana, yang disebut Negara Ngamarta, Batanakawarsa, atau Ngendraprastha.

Bahkan, setelah Prabu Puntadewa berhasil membawa Negara Ngamarta mengalami maju pesat, para Kurawa pun hendak merampasnya pula. Lalu cara apa yang hendak ditempuh Prabu Duryudana dan Patih Sengkuni kalau bukan dengan jalan culas dan licik?

Begitulah, akhirnya Prabu Duryudana mengundang Prabu Puntadewa dan Pandhawa diajak bermain dadu. Dan, melalui permainan dadu itulah Prabu Puntadewa harus melepaskan Negerinya Ngamarta kepada Kurawa. Bahkan, sejak itu pula Prabu Puntadewa beserta Dewi Drupadi serta para Pandhawa harus menjalani hukuman buang di hutan belantara selama 12 tahun. Kelak kalau sudah selesai menjalani masa hukuman buang 12 tahun, para Pandhawa harus melakukan namur lampah (menyamar) di suatu negara selama setahun. Jika dalam penyamarannya selama setahun itu para Pandhawa diketahui para telik sandi Ngastina, maka para Pandhawa harus mengulangi lagi hukuman buang di hutan belantara selaama 12 tahun. Begitu seterusnya.

Di sisi lain, Prabu Puntadewa itu juga memiliki nama lain yaitu Ajathasatru; artinya orang yang tidak mempunyai musuh! Boleh jadi orang lain menganggap musuh, tetapi kenyataannya Prabu Puntadewa tidak menganggap sebagai musuh.

Setidaknya, sosok dan pribadi Prabu Puntadewa juga mengingatkan kepada penulis atas ajaran Raden Mas Panji Sosrokartono yang sangat fenomenal itu, yakni ajaran tentang; “Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake.”

Dalam hal ini, patut kiranya kita mengambil entry point tentang ‘menang tanpa ngasorake’ yang hampir identik dengan bahasan sebelumnya yaitu ‘wani ngalah luhur wekasane’. Falsafah Raden Mas Panji Sosrokartono ‘menang tanpa ngasorake’ (menang tanpa mengalahkan), tentu dimaksudkan bukan untuk mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan diri sendiri. Dus dengan demikian, yang menang adalah dirinya atas dirinya sendiri.

O…………betapa indahnya jika dalam kehidupan ini banyak orang berlomba-lomba untuk menjalankan falsafah RMS Panji Sosrokartono tersebut; yakni falsafah ‘menang tanpa ngasorake’! Menang tanpa mengalahkan berarti seseorang dapat ‘menundukkan dirinya sendiri’ atau mengendalikan hawa nafsunya, sehingga nafsunya tak lagi menggelora dalam dirinya. Maka yang menang adalah rasa imannya, rasa, sukmanya atau urip-e (hidupnya) yang dapat mengenyahkan bisikan-bisikan setan dan nafsu, sehingga mereka menjadi lebih parek (dekat) kepada Allah Swt.


Tidak ada komentar: