Senin, 23 April 2012

Novel; Matahari Kembar Di Mandura (Diva Press)

Antara Perebutan ‘Tiga Ta’ (Harta, Tahta, Wanita)

Dan Makna ‘Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti’

SESUAI namanya, wayang, yang berarti wayangan (bayangan), maka kisah atau cerita yang ditampilkan pun sebenarnya merupakan kaca benggala (cermin) dari bayangan kehidupan manusia di muka bumi itu sendiri. Novel wayang yang berjudul “Matahari Kembar Di Mandura” (Pergolakan Tahta Mandura; Raden Kangsadewa Menagih Janji) yang mengungkap kisah Dewi Maerah dan puteranya Raden Kangsadewa sebagai tokoh jahat (antagonis) beserta Prabu Basudewa, Raden Kakrasana dan Raden Narayana sebagai tokoh baik (protagonis) ini pun juga demikian. Kisah yang berlatar Negeri Mandura dengan para tokohnya yang protagonis maupun antagonis, tak ayal juga mencakup dua makna seperti bunyi judul di atas.

Pertama, hampir semua kisah dalam pewayangan (wayang) sepertinya tak lepas dari perebutan unsur ‘tiga ta’; yakni harta, tahta, dan wanita!

Kedua, mengandung makna falsalah kehidupan yang sangat fundamental, yakni ‘sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’ (kebatilan walaupun sebesar raksasa yang menguasai dunia akan hancur oleh kebenaran).

Tak salah kiranya jika ada orang yang berpendapat bahwa cerita atau kisah dalam pewayangan hanya berkutat ‘tiga ta’ yaitu harta, tahta, dan wanita. Bahkan, terjadinya perang dalam kisah pewayangan tersebut seolah-olah hanya karena perebutan tahta dan kekuasaan belaka. Pandangan orang tadi, misalnya dihubungkan dengan kisah Ramayana yang hanya memperebutkan Dewi Shinta antara Raden Rama Wijaya dengan Prabu Dasamuka (Rahwana Raja). Juga kisah Bratayuda Jayabinangun (Mahabharata) yang seolah-olah hanya memperebutkan Negeri Ngastina antara Kurawa dan Pandhawa. Demikian halnya dengan kisah pergolakan Negeri Mandura dalam novel ini; seolah-olah hanya mengenai perebutan tahta singgasana Mandura antara Raden Kangsadewa dengan dua orang ‘putera mahkota’ Raden Kakrasana dan Raden Narayana saja.

Tetapi, betapa dangkalnya jika pandangan tersebut hanya dijadikan satu-satunya jawaban atas persoalan kisah pewayangan; bukankah di dalamnya juga tersirat kandungan makna filosofi atau falsafah kehidupan yang sangat adiluhung? Sebut saja dalam kisah novel pewayangan buku ini, setidaknya di sana tercermin suatu sesanti yang merupakan falsafah kehidupan; yakni ‘sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’!

Dalam hal ini, Raden Kangsadewa, putera Dewi Maerah dengan pasangan gelapnya Prabu Gorawangsa Raja Guwabarong adalah tokoh antagonis yang memulai terjadinya gara-gara (pergolakan) di Mandura. Hal itu berawal ketika Dewi Maerah hendak dilamar Prabu Basudewa, tetapi ia meminta bebana (persyaratan, permintaan); jika ia memiliki seorang putera, maka puteranya kelak harus dinobatkan sebagai Raja Mandura menggantikan kedudukan Sang Prabu. Dan, karena Sang Prabu begitu terpesona dengan kecantikan Dewi Maerah, maka ia pun memenuhi bebana itu, sehingga Sang Dewi diangkat sebagai permaisuri ketiga. Sebelumnya Prabu Basudewa telah memiliki dua orang prameswari (permaisuri) yaitu Endhang Rohini dan Dewi Dewaki.

Tetapi, apakah pengabulan Sang Prabu terhadap permintaan Dewi Maerah itu hanya semata-mata karena tertarik dengan kecantikannya saja? Barangkali tidak! Sebab, dua orang permaisurinya Dewi Rohini dan Dewi Dewaki, bahkan ditambah dengan seorang garwa selir (isteri selir) lagi bernama Dewi Badrahini, hingga saat itu masih belum asesuta (belum memiliki momongan). Padahal, bukankah kebahagiaan seorang Raja-binathara jika ia sudah memiliki anak keturunan?

Ternyata Dewi Maerah berselingkuh! Yaitu dengan seorang danawa raja (raja raksasa) bernama Prabu Gorawangsa Raja Guwabarong. Dan, buah cinta Dewi Maerah dengan Prabu Gorawangsa itu melahirkan Raden Kangsadewa yang kemudian menjadi seorang yang sekti mandraguna. Dalam perkembangan berikutnya, Dewi Maerah selalu ‘menyuntikkan’ energi negatif kepada puteranya Raden Kangsadewa bahwa dia adalah ‘putera mahkota’ Mandura, bahkan Sang Prabu pernah menjanjikan kepadanya bahwa puteranya-lah yang kelak berhak atas tahta singgasana Negeri Mandura.

Padahal, bukankah Raden Kangsadewa adalah ‘buah cinta’ Dewi Maerah dengan selingkuhannya Prabu Gorawangsa? Artinya, meski Sang Prabu pernah mengucapkan suatu janji kepada Dewi Maerah atas tahta Mandura, tetapi karena Dewi Maerah telah berselingkuh, maka semestinya janji itu batal secara otomatis! Tetapi begitulah yang terjadi! Karena Dewi Maerah telah dirasuki nafsu syahwat ambisius kekuasaan lalu ‘ditransfer’ kepada puteranya sejak kecil, tak ayal setelah dewasanya Raden Kangsadewa benar-benar menagih janji tahta Mandura kepada Prabu Basudewa. Bahkan, Sang Prabu pun masih bermurah hati dengan mengangkat Raden Kangsa sebagai Pangeran Anom Adipati di Kesatriyan Sengkapura.

Di sisi lain, ketiga isteri Prabu Basudewa pun mothah (meminta) agar Sang Prabu berkenan menjalankan semadi atau manungku puja untuk mendapatkan wangsit (bisikan ghaib); jalan apakah yang musti ditempuh agar mereka bertiga dapat memiliki anak? Sang Prabu sendiri juga bercita-cita memiliki anak-anak sebagai titising Dewa-Bathara!

Dan, berdasarkan petunjuk wangsit dari Gusti Kang Akarya Jagad bahwa Prabu Basudewa beserta ketiga isterinya supaya menjalankan mbebedhag (berburu) di Hutan Kumbina. Setidaknya, hal itu merupakan pergulatan keprihatinan yang musti ditempuh Prabu Basudewa beserta ketiga isterinya. Dewi Rohini, Dewi Dewaki dan Dewi Badrahini pun hamil. Dan, setelah saatnya melahirkan, Dewi Rohini melahirkan Raden Kakrasana sebagai titising Bathara Laksmanasadu dan Sang Hyang Naga Basuki. Dewi Dewaki melahirkan Raden Narayana yang merupakan jelmaan Bathara Whisnu. Sedang Dewi Badrahini melahirkan Rara Ireng.

Sebagai titising Dewa Bathara, tak pelak Raden Kakrasana dan Raden Narayana sejak kecil harus menjalani kehidupan lara lapa (keprihatinan) di padepokan Widarakandhang yang diasuh oleh Ki Antyagopa dengan Nyai Segopi. Dari sinilah Raden Kakrasana dan Raden Narayana gemar menjalani tapa brata hingga mendapatkan anugerah Dewata Agung; yakni Kakrasana memperoleh Senjata Nanggala dari Bathara Brahma, sedang Narayana mendapatkan Senjata Cakra dari Bathara Whisnu. Bahkan, Narayana juga mendapatkan anugerah lain dari Begawan Padmanaba, mahagurunya, yaitu berupa Kembang Wijayakusuma dan Aji Balasewu.

Selanjutnya, sebagai titising Dewa Bathara yang telah dibekali senjata yang ampuhnya kagila-gila (sangat dahsyat), maka Raden Kakrasana dan Raden Narayana berkewajiban mangrurah satru sekti (memberantas musuh sakti) yang dur angkara murka (berwatak jahat). Bukankah pula tugas satriya utama (ksatria sejati) adalah menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi serta ‘memayu hayuning bawana’ (menyelamatkan dan memakmurkan bumi)?

Dan, sesuai pakem (kisah baku pewayangan) akhirnya Raden Kakrasana dan Raden Narayana benar-benar dapat menjalankan misinya dengan baik, yakni memberantas kejahatan di muka bumi yang diejawantahkan dengan membunuh Raden Kangsadewa dengan Senjata Nanggala dan Senjata Cakra! Sementara, Patih Suratrimantra jagonya Raden Kangsadewa tewas di tangan Raden Harya Bima, panenggak Pandhawa sebagai jago Prabu Basudewa dalam pertarungan ‘hidup-mati’; yakni ‘adu jago’ dengan taruhan Negeri Mandura bagi pemenangnya.

Sebagaimana kisah-kisah dalam pewayangan, maka lakon (kisah) “Kangsadewa Lena” ini diakhiri dengan happy ending, yakni bahwa kejahatan atau kebatilan pasti akan hancur oleh kebenaran. Hal itu sesuai dengan makna falsafah yang terkandung dalam kisah ini; “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti’!

Novel Wayang; Puntadewa (Diva Press)

Mengurai Makna Falfasah

-“Wani Ngalah Luhur Wekasane”

-“Menang Tanpa Ngasorake”

JIKA Anda mengenal karakter Prabu Puntadewa, barangkali ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan ekspresi kepribadiannya yaitu sebagai seorang yang ‘wani ngalah luhur wekasane’! Piwulang (ajaran) Jawa tersebut artinya bahwa manusia hendaknya berani mengalah, ketahuilah bahwa tindakan mengalah tersebut akan membawa pada derajat yang luhur (kebaikan tinggi). Dan, patut diingat bahwa mengalah di sini bukan berarti kalah, tetapi mengalah demi kebaikan dan kemaslahatan bersama. Bukankah dengan demikian orang yang mengalah itu pada hakikatnya justru menjadi pihak yang menang?

Berbicara menang dan kalah, tentu merupakan dua kutub yang berseberangan atau bertolak-belakang; suka-duka, senang-susah, gembira-sedih, atau sesuatu yang mengenakkan dan tidak mengenakkan! Betapa akrabnya telinga kita dengan kata “menang-kalah”, terutama dengan maraknya agenda Pilkada, Pilgup, Pileg hingga Pilpres di negara kita. Kemenangan dan kekalahan dalam hal ini adalah dua keadaan yang bertolak-belakang, yang satu bergembira, sedang yang lain bersedih hati! Dua keadaan yang tidak bisa dipertemukan, lantaran keadaannya seperti langit dan bumi!

Bagaimana dengan Anda?

Apakah kedudukan, pangkat jabatan, karir atau prestasi yang Anda dapatkan dengan mengalahkan orang lain? O, betapa tidaknya diri Anda jika kebahagiaan yang Anda impikan dan cita-citakan itu ternyata harus dibarengi dengan penderitaan dan kesedihan orang lain di lain pihak. Betapa tidak enjoy-nya perasaan kita jika kesuksesan, keberhasilan, dan kejayaan atau kemenangan yang kita peroleh ternyata harus mengalahkan orang lain?! Lalu, bagaimana nikmatnya seseorang dapat menikmati hidup, yang ibaratnya seperti “tertawa di atas penderitaan orang lain”?

Barangkali, di sinilah pentingnya kehadiran kisah atau cerita pewayangan (dalam pementasan wayang kulit) yang bukan saja merupakan suatu tontonan, tetapi juga tuntunan. Kalau tontonan merupakan sesuatu yang bersifat menghibur, tetapi kalau tuntunan merupakan sesuatu yang bersifat mencerahkan. Sesuai dengan tema besar dalam novel ini, Puntadewa, maka marilah kita gali gambaran karakter kepribadian Sang Prabu Puntadewa, pembarep Pandhawa dalam novel ini.

Dalam kehidupannya, Prabu Puntadewa ini dikenal sebagai penyabar, adil dan bijaksana, pemurah, jujur atau tak pernah berbohong, bahkan tak pernah marah sedikit pun. Karena itulah Raja Ngamarta itu dikenal sebagai seorang satriya yang memiliki ludira seta (darah putih). Apapun yang dimintanya pasti diberikan, termasuk barang yang paling berharga sekali pun, seperti pusaka ‘Jamus Kalimasada’ dan permaisurinya Dewi Drupadi! Dalam lakon “Indrajala Maling”, misalnya, dikisahkan ada seorang maling bernama Indrajala yang meminta kepada Prabu Puntadewa senjata Ngamarta (Jamus Kalimasada) dan istrinya Dewi Drupadi. Dan, Prabu Puntadewa pun menyerahkan Jamus Kalimasada dan istrinya Dewi Drupadi kepada Indrajala.

Tetapi, betapa kagetnya Si Indrajala ketika tiba-tiba tubuh Prabu Puntadewa berubah menjadi seorang raksasa yang besarnya sagunung anakan? Begitulah, kalau Prabu Puntadewa me-rapal Ajian Gundhawijaya dalam triwikrama, sehingga ia berubah menjadi raksasa besar. Maka, tanpa diminta pun, akhirnya Indrajala menyerahkan kembali pusaka Jamus Kalimasada dan Dewi Drupadi kepada Prabu Puntadewa.

Terkait dengan sikap ‘wani ngalah luhur wekasanae’ di atas, patut kiranya kita menjadikan sosok dan pribadi Prabu Puntadewa sebagai cermin kehidupan! Bayangkan, betapa Puntadewa dan saudaranya Pandhawa selalu dihinakan, dipinggirkan, dikuya-kuya, bahkan beberapa kali diancam keselamatannya hendak dibunuh, dan seterusnya oleh para Kurawa yang dipimpin oleh Raden Duryudana dan Patih Sengkuni.

Meski sesungguhnya tahta singgasana Ngastina merupakan hak Raden Puntadewa sebagai peninggalan dari mendiang ramandanya Prabu Pandhu Dewanata, tetapi kenapa justru yang diterima Raden Puntadewa dan saudaranya Pandhawa adalah ancaman pembunuhan para Kurawa pada peristiwa pembakaran Bale Sigala-Gala?

Meski demikian, ketika Prabu Anom Kurupati hanya memberikan sebagian kecil dari kekuasaan Kerajaan Ngastina yaitu Hutan Wanamarta, maka Pandhawa pun nrima ing pandum atas pemberian itu. Dan, di Hutan Wanamarta-lah akhirnya para Pandhawa babad alas, lalu mendirikan kerajaan di sana, yang disebut Negara Ngamarta, Batanakawarsa, atau Ngendraprastha.

Bahkan, setelah Prabu Puntadewa berhasil membawa Negara Ngamarta mengalami maju pesat, para Kurawa pun hendak merampasnya pula. Lalu cara apa yang hendak ditempuh Prabu Duryudana dan Patih Sengkuni kalau bukan dengan jalan culas dan licik?

Begitulah, akhirnya Prabu Duryudana mengundang Prabu Puntadewa dan Pandhawa diajak bermain dadu. Dan, melalui permainan dadu itulah Prabu Puntadewa harus melepaskan Negerinya Ngamarta kepada Kurawa. Bahkan, sejak itu pula Prabu Puntadewa beserta Dewi Drupadi serta para Pandhawa harus menjalani hukuman buang di hutan belantara selama 12 tahun. Kelak kalau sudah selesai menjalani masa hukuman buang 12 tahun, para Pandhawa harus melakukan namur lampah (menyamar) di suatu negara selama setahun. Jika dalam penyamarannya selama setahun itu para Pandhawa diketahui para telik sandi Ngastina, maka para Pandhawa harus mengulangi lagi hukuman buang di hutan belantara selaama 12 tahun. Begitu seterusnya.

Di sisi lain, Prabu Puntadewa itu juga memiliki nama lain yaitu Ajathasatru; artinya orang yang tidak mempunyai musuh! Boleh jadi orang lain menganggap musuh, tetapi kenyataannya Prabu Puntadewa tidak menganggap sebagai musuh.

Setidaknya, sosok dan pribadi Prabu Puntadewa juga mengingatkan kepada penulis atas ajaran Raden Mas Panji Sosrokartono yang sangat fenomenal itu, yakni ajaran tentang; “Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake.”

Dalam hal ini, patut kiranya kita mengambil entry point tentang ‘menang tanpa ngasorake’ yang hampir identik dengan bahasan sebelumnya yaitu ‘wani ngalah luhur wekasane’. Falsafah Raden Mas Panji Sosrokartono ‘menang tanpa ngasorake’ (menang tanpa mengalahkan), tentu dimaksudkan bukan untuk mengalahkan orang lain, tetapi mengalahkan diri sendiri. Dus dengan demikian, yang menang adalah dirinya atas dirinya sendiri.

O…………betapa indahnya jika dalam kehidupan ini banyak orang berlomba-lomba untuk menjalankan falsafah RMS Panji Sosrokartono tersebut; yakni falsafah ‘menang tanpa ngasorake’! Menang tanpa mengalahkan berarti seseorang dapat ‘menundukkan dirinya sendiri’ atau mengendalikan hawa nafsunya, sehingga nafsunya tak lagi menggelora dalam dirinya. Maka yang menang adalah rasa imannya, rasa, sukmanya atau urip-e (hidupnya) yang dapat mengenyahkan bisikan-bisikan setan dan nafsu, sehingga mereka menjadi lebih parek (dekat) kepada Allah Swt.


Biografi Nafsu Manusia PTS Millennia

Dalam kehidupan di dunia ini, disadari atau tidak, hancur-tidaknya dunia ini sesungguhnya hanya ‘bergantung’ dari kondisi hawa nafsu manusia. Jika hawa nafsu manusia tergolong baik, tentu mereka bersedia dengan sepenuh hati menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardh, yaitu memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi lawan katanya adalah mengadakan kerusakan atau kehancuran, yang tak lain disebabkan oleh ‘kolaborasi’ antara hawa nafsu yang buruk dengan setan (iblis) laknatullah!

Bagi kaum muslimin yang berpegang teguh kepada kitabullah al-Qur’an, tentu tak asing dengan firman Allah Swt (QS Asy-Syams [91]: 9-10): “....sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Sementara, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang baik (suci), maka Dia tidak akan menerima (sesuatu), kecuali yang baik (suci).” (HR Imam Muslim).

Dan, nampaknya tak terelakkan lagi bahwa dalam kehidupan ini terdiri dari dua golongan; yakni golongan baik dan golongan jahat (buruk). Golongan kanan dan golongan kiri. Atau golongan ahli surga dan golongan ahli neraka. Diturunkannya para Nabi/Rasul oleh Allah Swt ke muka bumi agar membimbing umat manusia ke jalan yang lurus atau jalan yang diridhai-Nya, tetapi di antara manusia ada yang mengikuti petunjuknya dan ada pula yang mengingkarinya. Yang mengingkari, tentu disebabkan oleh hawa nafsunya yang buruk! Mengapa mereka tidak mengikuti petunjuk Allah sebagaimana yang dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul-Nya?!

Demikianlah bahwa orang-orang yang mengingkari bimbingan dan tauladan para Nabi/Rasul Allah, biasanya disebabkan karena ambisinya untuk penguasaan “Tiga ta”; yakni harta, tahta, wanita. Ini tidak main-main, karena mereka benar-benar menyimpan “Tiga ta” tersebut di dalam hatinya. Jika demikian, karena hatinya tidak dipergunakan untuk dzikrullah (mengingat Allah), maka apalagi yang akan dilakukan jika bukan bertindak secara machiavelli; yakni menghalalkan segala macam cara untuk meraih keinginannya?!

Itulah tabiat orang-orang yang berhati kotor, yakni hati yang diselubungi oleh hawa nafsu busuk. Dan, keadaan seperti itu pernah diisyaratkan oleh Rasulullah Saw yang diriwayatkan Ibn ‘Asakir dari Ibn Umar bahwa di akhir zaman ada kecenderungan bahwa orang tidak lagi memperhatikan rezekinya, apakah didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram. Selain itu, Nabi Saw juga mengingatkan bahwa kelak akan ada ‘zaman fitnah’, yakni seorang pejabat tak lagi bisa dipegang amanatnya, banyak ulama yang hanya ahli berpidato, tetapi tidak mengamalkan ajaran agama, bahkan banyak gangguan dari orang lain, dan seterusnya.

Dalam buku ini, penulis menguraikan secara detail dan rinci mengenai seluk-beluk hawa nafsu dan bagaimana caranya menundukkan, melembutkan, menjinakkan atau mengarahkan hawa nafsu ke arah yang benar. Yang paling utama, tentu kaum muslimin harus berusaha mengenyahkan jauh-jauh ‘hijab spiritual’; yakni terpesona oleh kemolekan duniawi, bujuk-rayu atau godaan setan, larut dalam kesenangannya kepada sesama manusia dan hawa nafsu itu sendiri. Dan, di antara empat poin ‘hijab spiritual’ tersebut, yang paling berat dilakukan oleh pelaku spiritual adalah menundukkan hawa nafsu.

Karebet VS Penangsang (PENERBIT IMANIA, 2011)

Pasca runtuhnya istana Majapahit, Raden Patah yang mendeklarasikan Kasultanan Demak Bintoro juga tak diakui oleh Ki Ageng Kebo Kenanga (Raja Pengging) yang justru menjadi pengikut setia Syech Siti Jenar! Keduanya terlibat mbalela atawa aksi pembangkangan terhadap Sultan Patah hingga berakhir dengan hukuman mati!

Berbeda dengan sikap Ramandanya, Jaka Tingkir—putra Ki Ageng Kebo Kenanga atau cicit Prabu Brawijaya V—justru berani tampil secara elegan. Ia memulai karirnya dengan mengabdi kepada Sultan Trenggana (putra Sultan Patah), bahkan kemudian menjadi menantu Kanjeng Sultan setelah menikahi Retna Mas Cempaka.

Demikianlah, menyimak pergulatan para ksatria trah keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit sampai Demak hingga Pajang, memang, tak luput dari segala intrik, dendam kesumat, kecengengan dalam beragama, romantika cinta, dan seterusnya.

Lantas, siapakah sebenarnya penerus tahta ‘metamorfosis’ Prabu Brawijaya V yang sesungguhnya; Raden Patah ataukah Jaka Tingkir?

Mengapa pula Arya Penangsang Adipati Jipang berani menantang kepemimpinan Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya di Kasultanan Pajang?

Ken Dedes Sang Penggoda

MESKI menjadi korban penculikan Sang Penguasa Tumapel Tunggul Ametung, namun Ken Dedes tak larut dalam kedukaan dalam penjara jiwa yang membelenggunya di lingkungan Pakuwuan Tumapel yang gemerlapan. Dengan kegenitan yang dipadukan dengan sifat kelemah-lembutannya, putri Mpu Parwa itu dapat meluluhkan hati Ken Arok, bekas gembong perampok yang menjadi pengawal pribadi Sang Akuwu. Seiring dengan cemerlangnya karir Ken Arok yang meroket bak meteor hingga ia dinobatkan sebagai Panglima Tumapel, aksi godaan yang dilancarkan Ratu Dedes terhadap Sang Panglima semakin menjadi-jadi. Puncaknya adalah terjadinya persekongkolan atau persekutuan antara Ken Dedes dengan Ken Arok untuk menggulingkan kekuasaan yang diktator dan otoriter.

Padahal, pada saat yang bersamaan muncul beberapa faksi yang hendak merongrong kekuasaan Tumapel, yaitu kubu Mpu Gandring, Kebo Ijo dan Yang Suci Belakangka.

Berhasilkah usaha Ratu Dedes bersama Panglima Ken Arok, murid Dang Hyang Loh Gawe?

Bagaimana pula aksi Sang Panglima Ken Arok memainkan peranannya meredam kemelut gonjang-ganjing di lingkungan Pakuwuan Tumapel?