Kamis, 05 Juli 2007

Cermin Hati

Cermin. Ya, cermin. Apalagi ini bukan sembarang cermin, melainkan “Cermin Hati”—sebagaimana judul buku ini—sekali lagi, semoga ada guna-manfaatnya. Apabila kita melihat cermin, tentu bisa kita bayangkan manfaat dan kegunaannya, yakni sebagai alat untuk berhias diri. Betapa repotnya jika di rumah kita tidak ada cermin: sudah rapikah kita? Apakah rambut kita masih acak-acakan? Bagaimana pula dengan wajah kita yang jerawatan?
Jika cermin yang bersifat dhahir saja sudah begitu banyak manfaatnya, apalagi dengan cermin hati! Rasulullah Saw telah menginformasikan kepada kita bahwa orang mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya. Artinya, getaran aura orang mukmin itu bisa memantul kepada orang mukmin lainnya. Menjadi satu-kesatuan seolah tak terpisahkan.
Menurut Sayid ‘Abdullah bin Husein bin Thohir r.a, sabda Rasulullah—“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”—itu mengandung jawami’ul kalim (kalimat yang singkat, tetapi sarat dengan makna). Artinya, hadits Rasulullah bisa dipahami oleh seseorang sesuai dengan pemahaman dan cahaya yang diberikan Allah kepadanya, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Hati yang bersih itu adalah seperti cermin yang bening dan terang. Dengan keadaan hati yang bening seperti itu, hamba Allah tersebut mampu “menangkap” hakikat segala sesuatu yang terukir di Lauh Mahfuzd. Begitu hijab (tabir) terangkat dan cermin berada di hadapan Lauh Mahfuzd, tersingkaplah hakikat-hakikat ilmu dan terangkatnya tabir, terkadang di waktu tidur dan terkadang dalam keadaan terjaga, dan itulah kebiasaan Sufi. Dan terkadang dengan tiupan angin lembut tanpa sebab dari pihak hamba atau persiapan, sehingga berkilau di dalam hati dari belakang tabir keajaiban suatu keajaiban ilmu. Dan, menurut Al-Ghazali, puncak penyingkapan seperti itu ketika datang kematian, di mana hijab terangkat seluruhnya. Itulah yang dimaksud sabda Nabi Saw: “Semua manusia dalam keadaan tidur, maka apabila sudah mati, mereka pun terbangun.”
Hamba Allah yang telah tersingkap tabir (hijab) dikenal dengan kasyaf. Dan, itulah yang dimaksudkan perumpamaan bahwa hati orang mukmin seperti cermin. Dari cermin tersebut kemudian didapatkan ilmu-ilmu hakikat, perumpamaannya adalah seperti gambar-gambar yang terlihat di dalam cermin.
Berbahagialah Umar Bin Khathab yang hatinya selalu melihat Tuhan, sehingga Allah pun menyucikan hatinya. Begitu pula dengan Abu Bakar Ash-Shidiq; sebagaimana sabda Rasulullah: “Andaikata iman Abu Bakar ditimbang dengan iman seluruh alam selain para nabi, niscaya unggullah iman Abu Bakar.”
Memang, demikianlah bahwa hati manusia itu ada empat macam, yakni;
Pertama, hati yang terang seperti lampu, itulah hati orang mukmin.
Kedua, hati yang gelap dan terbalik, itulah hati orang kafir.
Ketiga, hati yang tertutup dan terikat pada tutupnya, itulah hati munafik.
Keempat, hati yang berlapis di mana terdapat iman dan sifat munafik.
Menurut Nabi Saw, hati manusia pun bisa berkarat seperti besi yang juga berkarat. Ada yang bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Rasulullah menjawab: “Mengingat mati dan membaca al-Qur’an.”
Dari buku; Cermin Hati; Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, Penerbit Tiga Serangkai Solo, 2006.

Tidak ada komentar: