Kamis, 05 Juli 2007

Kisa Para Sufi

Marilah kita tengok ‘jalan para sufi’ di dalam buku ini, di antaranya seperti yang diaplikasikan dan dihayati oleh kekasih Allah hingga mereka dikenal sebagai hamba Allah yang berkepribadian sebagai insan kamil, orang yang merdeka, dan selalu ‘berpesta Allah’ setiap harinya.
Pertama, sebut saja, misalnya, Sari as-Saqathi—orang pertama yang mengajarkan kebenaran mistik dan fana’ (peleburan) sufi di Kota Baghdad dan sekaligus paman Syech Imam Junaid—yang dikenal sebagai tokoh sufi yang sangat tinggi dalam berdisiplin diri dalam ber-taqarrub ilallah. Kepada seseorang yang datang kepadanya, ia bertanya: “Jalan manakah yang engkau inginkan: ‘jalan para sufi’ ataukah ‘jalan hukum’? Jalan yang ditempuh orang kebanyakan ataukah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
Kedua, ketokohan Dzun Nun al-Mishri—yang nama aslinya Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri lahir di Mesir—dalam dunia tasawuf memang sangat mendalam, sehingga dikenal sebagai guru sufi. Ia pernah mengkritik seorang ‘putra mahkota’ penguasa Mesir (Pangeran) dengan melotarkan kata-kata: “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat melawan Si Kuat!”
Ternyata, kritikan Dzun Nun mengena, sehingga setelah hati ‘putra mahkota’ terbuka, ia segera mendatangi Dzun Nun di rumahnya dan bertanya: “Tolong aku ditunjuki, manakah jalan menuju Allah?”
Dzun Nun memberikan jawabannya: “Ada ‘jalan yang kecil’ dan ada ‘jalan yang besar’. Manakah yang engkau sukai?”
Apa yang dimaksud Dzun Nun mengenai ‘jalan kecil’ dan ‘jalan besar’? ‘Jalan kecil’ yang dimaksud Dzun Nun adalah meninggalkan dunia dan menundukkan hawa nafsu serta menjauhi perbuatan dosa atau maksiat, sedangkan ‘jalan besar’ adalah meninggalkan segala sesuatu kecuali Allah dengan mengosongkan hati.
Dzun Nun juga pernah memberikan tiga nasihat kepada Yusuf al-Husain yang pernah berguru kepadanya untuk mendapatkan wejangan tentang Ismuladhom (Nama Allah yang Agung). Pertama, ‘nasihat besar’ adalah melupakan segala sesuatu yang telah dia baca dan menghapuskan segala sesuatu yang telah dia tulis agar selubung penutup matanya terbuka. Kedua, ‘nasihat sedang’ adalah melupakan sang guru (Dzun Nun) dan tidak membicarakan mengenai dirinya dengan siapapun juga. Ketiga, ‘nasihat kecil’ yaitu menyeru manusia kepada Tuhan mereka!
Dan, ternyata yang mampu dipilih oleh Yusuf al-Husain adalah ‘nasihat kecil’ atau ‘jalan yang terkecil’; yakni menyeru manusia kembali kepada Tuhan mereka (Allah Swt). Itu pun, Dzun Nun juga memberikan persyaratan bahwa ketika menyeru manusia kepada Tuhan, tidak boleh menyeru mereka karena mereka. Artinya, menyeru kepada Allah (berdakwah) hanya semata-mata karena Allah (ikhlas lillah-billah).
Ketiga, jalan yang telah ditempuh Syech Ibrahim Bin Adham; yakni dengan jalan meninggalkan istana kerajaannya yang penuh gemerlapan di Balk-Iraq, kemudian menggunakan pakaian bulu domba dan melakukan pengembaraan spiritual. Ia berdisiplin diri di dalam gua dengan shalat Tahajud setiap malamnya dan berpuasa Senin Kamis terus-menerus (istiqomah).
Bagi hamba-hamba Allah seperti itu memang sudah tak terikat lagi dengan perasaan senang atau susah, kaya ataupun miskin. Itulah pencapaian derajad insan kamil; karena mereka telah melampaui maqam ridho (rodhiyah) sehingga mendapatkan ridho-Nya (mardiyah). Para sufi tersebut, barangkali, boleh dikatakan telah melampaui dan menerapkan konsep Wihdatul Wujud (Wujudiyah), Martabat Tujuh, Maqam Tujuh dan seterusnya yang dalam wacananya membahas sesuatu dalam spiritualitas tingkat tinggi.

Dari buku; Kisah Para Sufi; Perjalanan Menuju Maqam Cinta Sejati, Penerbit Tiga Serangkai Solo, 2006.


Tidak ada komentar: